TUHAN (TAK) KEPARAT

february
Chapter #21

Hari kedelapan belas

Tuhan yang keparat ini masih tak mengizinkanku untuk bertemu denganmu, Sayang. Entah harus dengan makian sekotor apa lagi untuk aku bisa membuatnya merasa bersalah dan meminta maaf padaku. Ini sudah hari kedelapan belas aku harus menikmati mekaran bunga melati dan sejuknya daun-daun aglonema dari taman kecil kita sendirian. Tanpa dirimu. Tanpa kehadiranmu.

Juga ini adalah hari kedelapan belas aku tak memiliki keberanian untuk tidur di ranjang kita, apalagi untuk tidur, hanya memberanikan diri untuk melangkahkan kaki melewati ambang pintu dan menatap seisi ruangan kamar kita saja aku tak bisa. Entah bagaimana rupanya sekarang, hanya ibuku dan ibumu yang sesekali masuk untuk membersihkan ruangan itu. Beberapa hari yang lalu Ibumu juga meminta izinku untuk mengambil seluruh barang-barang milikmu yang sudah lama tidak kau jamah itu. Entah mau diapakan olehnya, aku tak begitu banyak bertanya namun aku sudah bisa menebak bahwa kemungkinan besar dirinya ingin membuang segala jenis barang milikmu untuk membuatku tak sebegitu sedih setiap aku menemukan peninggalan-peninggalanmu.

Ini artinya sudah delapan belas hari juga peri manis kita yang belum pernah merasakan gendonganku itu tumbuh tanpa nama yang aku sematkan di dirinya karena aku masih belum mempersiapkannya. Maka di hari ke delapan belas ini, Sayang. Aku ingin mencoba memberanikan diri untuk membuka kamar kita berharap aku bisa menemukan sesuatu di kamar kita yang kamu tinggalkan saat semasa kehamilan peri manis kita. Aku harap aku bisa menemukan satu dua nama peninggalanmu yang bisa aku pilih untuk aku sematkan pada putri kedua kita sebagaimana yang seharusnya kita lakukan sesuai janji yang sudah kita buat sebelumnya.

Maka di sinilah aku sekarang ini. Berdiri diam di balik pintu yang masih tertutup. Aku mencoba untuk mengumpulkan segala keberanian yang diam-diam melorot jatuh karena tertekan dengan adanya air mata yang mulai beruntun berlarian menuju pelupuk mata. Pelan-pelan aku menutup mata dan mengambil napas panjang, jemariku yang gemetar aku arahkan untuk menyentuh knop yang begitu dingin. Perlahan aku membuka mata, menghembuskan napas dan mendorong pelan knop pintu yang sudah begitu lama tak aku raba kehadirannya. Aku membuka pintu dengan sedikit demi sedikit karena aku takut jika aku tak kuat ketika mataku menangkap seluruh pemandangan kamar kita yang seluruh sudutnya hanya dipenuhi dengan ingatan-ingatanku tentang kepergianmu sore itu.

Dan ketika aku berhasil membuka pintu dengan sempurna, aku jadi membeku di tempat karena aku menemukan Ibuku, ibu mertuamu itu tengah tersungkur berlutut di depan lemari yang penuh dengan baju-bajumu. Ia tak menyadari kehadiranku karena sibuk menimbun wajahnya di baju milikmu yang aku ingat betul bahwa itu adalah baju pemberiannya di hari pernikahan kita sembilan tahun yang lalu.

Sayang…

Ternyata bukan hanya aku saja yang masih menangisi kepergianmu, ternyata bukan hanya aku saja yang merindukan kehadiranmu, juga ternyata bukan hanya aku saja yang memintamu untuk kembali dan hidup lagi di rumah ini. Ternyata aku tidak sendirian dalam gelembung yang dipenuhi rantai panjang yang mengikat kaki juga tinta hitam penuh duka ini.

Dan entah ini adalah bentuk dari sebuah kelegaan atau ketenangan, Sayang. Aku tak tahu betul definisi mana yang tepat untuk aku menjabarkan perasaan-perasaanku akhir-akhir ini karena semuanya berasa tercampur di dalam sini, di hatiku. Hingga aku pada akhirnya berubah menjadi monster tanpa indra peraba rasa yang mencoba untuk kabur dan mati dari dunia ini namun malah ditahan lebih lama lagi oleh Tuhan yang keparat dan tak tahu diri itu. Aku begitu lelah dengan segala rasa duka ini, aku sungguh ingin mati karena aku tahu betul bahwa kau tak bisa hidup lagi.

Namun kali ini, aku merasakan setitik kecil tenang ketika melihat ibuku tengah menangisimu dengan menenggelamkan wajahnya di baju yang terseok-seok di tadahannya. Ini bukan sebuah tenang yang mendalam karena ini adalah sebuah tenang yang merupakan reaksi dari kelegaanku menemukan fakta bahwa ternyata ada orang lain yang masih menangisi kepergianmu dan tak melupakanmu dari dunia ini. Aku merasa begitu lega karena meski ibuku sering tersenyum di hadapan malaikat cantik dan peri manis kita, ternyata ia diam-diam masih menangisimu seperti ini, Sayang. Ia begitu menyayangimu.

Aku mendekat pelan-pelan, Sayang.

“Bu…” panggilku dan langsung memeluk tubuhnya yang masih memeluk baju peninggalanmu dan berlutut di hadapan lemari baju kita berdua.

Ia mencoba untuk menghapus air matanya dan kembali memasukkan kembali bajumu yang sudah basah oleh air matanya itu ke dalam lemari baju kita. Aku tahu. Aku tahu bahwa ia tak ingin aku melihatnya seperti ini. “Bu…” aku kembali bersuara karena ia masih mencoba untuk menyembunyikan segalanya.

Lihat selengkapnya