TUHAN (TAK) KEPARAT

february
Chapter #22

Hari kesembilan belas

Sering aku dengar, sebuah frasa yang berbunyi; segala jenis duka akan terobati seiring banyaknya waktu yang berjalan. Tapi aku rasa hal itu tak berlaku bagiku sama sekali, bahkan sejentikpun. Tak akan.

Rasa-rasanya aku yang memilih untuk tidak sembuh dari penyakit duka atas kehilangan ini, Sayang. bukan karena aku sok kuat atau aku sok ingin mejadi suami yang setia. Aku memilih untuk tak sembuh dari luka duka ini adalah karena aku sampai sekarangpun akan selalu merasa bersalah meski sedetik saja aku tak mengingat dirimu dalam bayanganku. Aku selalu merasa bersalah untuk segala hal yang aku lakukan di dunia ini di saat kamu sudah tak ada di sampingku. Seperti yang aku ulang-ulang di hari-hari sebelumnya, bahwa untuk menelan makanan saja aku masih tak sanggup karena aku akan selalu teringat dirimu yang sudah tenggelam sendirian di dasar kematian yang telah disiapkan Tuhan. Aku selalu tak sanggup menikmati apapun yang hadir di kehidupanku setalah kamu tiada karena aku merasa aku tak berhak untuk bahagia jika kamu tak hadir sebagai salah satu yang ikut menikmatinya.

Maka aku akan melanggengkan penyakit duka ini dalam diriku, Sayang. Aku akan mencoba untuk membiarkannya merantai kakiku dengan segala rasa sakit yang ia lahirkan pelan-pelan dan semakin mengikat. Aku akan menganggapnya sebagai hadiah karena dengan cara itu aku bisa selalu mengingatmu dan tak akan pernah melupakan dirimu.

Karena jujur saja. Aku takut jika suatu saat nanti aku bisa lupa akan segalanya tentang dirimu. Entah rupa, senyum, suara tawa, bentuk hidung, kelopak mata, bibir manis, pipi merah merona, rambut bergelombang tak cukup panjang, lesung pipit samar yang muncul diam-diam saat dirimu bahagia, jemari lentik yang akan bergerak asal saat dirimu tengah cemas, hingga ukuran-ukuran Sepatu dan bajumu yang aku takut aku akan melupakannya suatu saat nanti. Aku sungguh takut jika suatu saat nanti aku akan lupa akan segala hal itu, aku takut jika nanti aku bisa banyak tertawa dan bisa menikmati berbagai hal yang hadir tanpa teringat dirimu lagi. Aku takut jika nanti… suatu saat nanti, aku akan mampu menelan makanan dan menemukan bahagia tanpa merasa bersalah lagi pada dirimu.

Aku sungguh takut jika suatu saat nanti aku bisa hidup biasa-biasa saja tanpa rasa sakit peninggalan duka yang merantai kakiku lagi. Aku selalu takut jika nanti aku bisa lupa dan tidak menjengukmu lagi setiap sore karena aku mulai jago menjalani kehidupanku lagi seolah aku tak pernah mengalami segala rasa sakit ini. Aku takut betul jika aku akan lupa bahwa kamu adalah istriku dan aku akan selalu menjadi suamimu.

Segala ketakutan itu sungguh menggerogotiku dari dalam, Sayang. Segala ketakutan itu akan selalu berterbangan dan berkeliaran di atas wajahku setiap kali aku mencoba menutup mata di tengah malam menuju dini hari hingga akhirnya aku tak bisa tidur lagi. Dan ini sudah sembilan belas hari berlalu namun waktu tidurku bisa kamu hitung dengan jari-jemari lentikmu.

Setiap malam akan dipenuhi kegelisahan, dan pagi pun tak menolongku sama sekali. Hari-hariku selama sembilan belas hari ini hanya dipenuhi dengan berbagai jenis topik kegelisahan dan berbagai rantai duka yang mengikatku dari arah manapun. Mereka semua menahanku untuk beranjak dan memintaku untuk selalu bergeming di kursi santai taman mungil favoritmu. Pun di kursi santai itu aku juga tak pernah dihinggapi arti santai itu karena aku malah lebih sering ditemani bayangan semu detik-detik akhir sebelum napas terakhirmu berhembus di sore yang menyesakkan itu. Sama seperti saat ini, Sayang.

Tak lebih berdeda dari hari-hari sebelumnya, pagi ini pun aku juga hanya duduk di kursi tak santai di taman kita dan ditemani lagi oleh bayangan semu di sore ketika kamu meninggal berbelas-belas hari lalu.

Sekali lagi rantai penuh duka ini menarikku kembali ke hari di mana aku berdiri kaku di ruangan operasi yang dipenuhi darah berjatuhan dan banyak tenaga medis yang mencoba menyelamatkanmu dari godaan si malaikat pencabut nyawa yang tengah menjalankan niat buruknya untuk membawamu pergi dari dunia ini dan ternyata usaha para tenaga medis tak cukup hebat untuk menggoyahkanmu yang sudah tergoda oleh rayuan-rayuan biadab si malaikat berjubah hitam itu. Seolah rantai penuh luka duka ini adalah portal yang bisa membawaku ke masa-masa jahanam lalu. Kini aku sudah benar-benar berdiri di ruang operasai tempat kamu terbujur lemas dengan mata tertutup serta bibir dan hidungmu yang disumpal dengan corong pemasok oksigen yang ternyata tak ada artinya lagi karena dirimu sudah tak mau menghisapnya sama sekali.

Aku berdiri di sudut ini dengan peri manis kita yang masih penuh darah dan bergerak lemas di dalam gendonganku, Sayang.

Aku bisa melihat dengan jelas para tenaga medis itu tengah mengerubungimu setelah mendorongku menjauh darimu yang sudah tak mau membuka mata lagi. Aku hanya bisa berdiri di sini dengan tatapan kosong karena aku tak tahu menahu tentang apa yang terjadi pada dirimu. Karena yang aku tahu, aku tak ingin dan tak mau kehilanganmu.

“Dok… kenapa istri saya diam saja?”

Itu adalah kalimat serta pertanyaan pertama yang aku ucapkan setelah aku cukup lama berdiri diam di sudut ini dengan peri manis kita yang masih tergendong di tanganku. Aku masih tak tahu harus melakukan apa selain gemetaran penuh cemas memikirkan hal-hal buruk yang sudah menguasai otakku sekarang ini. Dokter dan para tenaga medis itu tak ada yang menjawab pertanyaanku karena begitu sibuk dengan dirimu yang masih tak ada tanda-tanda untuk segera membuka mata.

Salah satu tenaga medis perempuan yang wajahnya tak bisa aku ingat itu menghampiriku dan mencoba untuk mengambil alih peri manis kita dari gendongnku. Tanpa sepatah katapun, tanpa secercah harapanpun ia mengambil peri manis kita tanpa mengizinkanmu untuk melihat rupa wajah putri kedua kita yang sama seperti kakaknya, ia juga mewarisi segalanya dari dirimu. Dan aku bersumpah bahwa aku akan mencoba untuk menemukan si perawat perempuan itu karena sudah mengambil peri manis kita tanpa memberimu waktu untuk menggendongnya barang sedetik saja.

Setelah peri manis kita beranjak dibawa pergi dari ruangan operasi ini. Aku semakin tak tahu harus melakukan apa selain mencoba untuk berdoa kepada Tuhan yang akan aku benci dan aku maki-maki pula di kemudian hari. Yang aku lakukan adalah menutup mata dan melantunkan segala pujian-pujian untuk Tuhan dan mencoba merayunya untuk memberi kamu dan putri kedua kita selamat dan sehat agar kitab isa menjalani kehidupan di esok hari bersama-sama tanpa hadiah kehilangan yang tak pernah aku harapkan kedatangannya.

Aku tak tahu betul ini sudah berapa lama kita berdua terjebak di dalam ruangan pengap yang juga dipenuhi cemas-cemas yang berterbangan berisik menabrak-nabrak langit-langit ruangan dan tak bisa keluar dari kesesakan ini. Hingga pada akhirnya, para tenaga media yang tadi mengerubungimu itu mulai mengambil langkah mundur dan menjauh dari bangsalmu dan meninggalkanmu sendirian terbujur lemas tanpa teman. Aku segera berlari untuk menghampirimu dan mencari penjelasan atas apa yang terjadi pada dirimu. Salah satu dokter menyadari kehadiranku dan menatapku dengan sorot mata yang sudah tak ada harapan yang terpancar dari manik-manik gelapnya. Aku melihat di belakangnya para perawat mencoba melepas segala alat bantu medis dari tubuhmu, bahkan mereka juga melepas selang oksigen itu dari hidungmu. Dokter yang tadi menyadari kehadiranku itu mulai membuka masker yang menutupi wajahnya dan mengucapkan satu kalimat yang begitu aku benci sampai kapanpun.

“Maaf Pak, istri Bapak sudah tidak bisa kami selamatkan.”

Aku yang mendengar itu malah marah dan segera menarik baju pelindungnya hingga membuat seisi ruangan operasi panik dan mencoba memisahkanku dari dokter bajingan yang tak bisa menyelamatkanmu itu. Namun ia bukannya marah tetapi malah mencoba menghentikan para tenaga medis yang ingin menarik tubuhku seolah dirinya sudah siap untuk aku hajar hingga mati karena tak bisa menyelamatkan nyawamu.

“Tidak apa-apa, Pak. Anda boleh memukul saya sepuas anda sebagai bentuk kekecewaan karena saya tidak bisa menyelamatkan istri anda.” Ucapnya kala itu hingga akhirnya aku yang sadar dan mendorongnya menjauh untuk aku berlari memelukmu erat-erat.

Aku masih bisa merasakan kehangatan yang tersalur dari kulitmu, aku masih bisa merasakan jiwamu yang masih ada di dalam ruangan ini. “Sayang… Tolong, aku mohon buka matamu dan katakana padaku bahwa kamu hanya tengah bercanda.”

Dokter yang tadi hampir aku pukuli itu mendekat padaku dan menepuk-nepuk lembut punggungku yang aku rasa ia ingin menenangkanku dari berita buruk yang baru saja ia kabarkan padaku. “Sayang…”

Aku mengecup seluruh wajahmu, aku mengecup bibirmu juga karena setiap kali kamu tertidur pulas kamu akan terbangun karena merasa terganggu dengan kelakuanku yang membangunkanmu dengan banyak kecupan-kecupan di seluruh wajahmu. Entah seberapa banyak air mataku yang sudah membasahi wajahmu, aku sudah tak peduli lagi karena aku harap kamu akan merasa risi dengan air mataku dan memilih untuk bangun serta memerahiku karena sudah membuatmu basah kuyup akan air mata. Dan bodohnya aku, Sayang. Karena dalam kecupan-kecupan itu, aku masih sempat-sempatnya memohon kepada Tuhan untuk mengembalikanmu padaku dan berdoa padaNya seolah Ia akan mengabulkan apa yang aku minta tanpa sadar bahwa diriNya adalah pembohong ulung dan pengkhianat akan janjiNya sendiri pada umatNya yang telah termakan kebohongan-kebohongan itu.

Aku bisa mendengar suara ibuku, ibumu, ayahku pun ayahmu yang berlarian histeris teriak, terisak, dan terseok-seok mendekat padaku dan padamu yang masih berpelukan. Aku tak mau melepaskanmu meski ibumu sudah berteriak menyerukan namamu kencang-kencang seolah ingin mengambil alih tubuhmu dari pelukanku tapi aku tak menghiraukannya dan aku tetap akan sampai kapanpun aku tak mau melepasmu pergi.

Ibuku memelukku dari samping. Ayahku ikut memeluk dari belakang, sedang di Seberang sana Ayahmu juga memeluk ibumu dengan begitu erat untuk menyalurkan segala rasa dukanya atas meninggalnya putri tersayangnya yang ia besarkan dengan penuh cinta. Aku sudah tak bisa berkata-kata lagi selain memintamu untuk membuka mata dan memintamu untuk kembali padaku serta tak meninggalkanku sendirian di dunia ini karena aku tak akan pernah bisa hidup tanpa ada dirimu di sisiku.

“Sayang… aku mohon… jangan tinggalkan aku…”

“Jangan tinggalin Mama, Nak…”

“Ma, anak kita, Ma…”

“Bu, putri kesayangan kita, Bu…” ucap Ayahku dengan nama panggilan kesayangannya untukmu karena ia selalu menganggapmu sebagai putri kesayangannya bukan sebagai menantu.

Sedang di antara kerusuhan itu, hanya ibuku yang tak bersuara selain isakan tangisnya yang paling kencang terbayang-bayang memenuhi ruangan operasimu sembari memelukku begitu erat. Dan aku sekali lagi akan bersumpah bahwa itu adalah pertama kalinya Ibu memelukku seerat ini.

Lihat selengkapnya