TUHAN (TAK) KEPARAT

february
Chapter #23

Hari kedua puluh

Diam dan sunyi bersandiwara

Mengubah rindu menjadi duka

Mengusung benci untuk yang kuasa

Kala dunia di ujung neraka

 

Malam ini, di malam yang ke dua puluh ini, Sayang. Aku sudah begitu hilang arah dan tak tahu menahu harus melakukan apa lagi untuk aku bisa mengurangi rasa rindu ini. Kemarin malam pun setelah aku memohon-mohon kehadiranmu, kamu juga tak ada datang sama sekali. Aku sudah tak tahu lagi harus memohon kepada siapa agar dirimu mau datang berkunjung.

Ini juga sudah malam ke dua puluh aku harus termenung sendirian di atas sofa panjang yang hampir tak pernah menerima perhatian darimu dulu. Padahal dulu ketika dirimu masih ada, setiap kali aku dihinggapi cemas sedikit saja kamu akan memeluk tubuhku dan mengelus rambutku penuh lembut dan hati-hati, sembari mengecup pipiku dan berucap bahwa semuanya akan baik-baik saja dan kita hanya perlu melewati semuanya dengan perlahan. Tapi sekarang ini aku lagi dan lagi harus sendirian, Sayang.

Ini sudah hampir lewat malam dan rasa sesak di dada ini tak ada berkurang dan malah semakin menggebu membuatku hampir tak bisa bernapas. Rasa rindu ini seolah ingin membunuhku pelan-pelan dengan mencekik leher ini keras-keras tanpa ampun. Aku sudah tak bisa melawan lagi, aku sudah tak bisa pura-pura lupa lagi, rasa rindu ini benar-benar sudah menunjukkan diri dan ingin aku untuk mengikuti segala pintanya agar ia bisa segera bertemu denganmu dan mencari pelukan hangat darimu seperti yang dulu-dulu. Semua dorongan ini membuatku begitu ingin kembali mencari jalan pintas agar aku bisa cepat-cepat menemuimu.

Aku segera duduk dan menatap ruang keluarga yang sudah tak ada nuansa keluarganya lagi karena sudah hampir satu bulan tak ada yang mengisi ruangan sakral di depanku ini padahal dulu kita tak pernah melupakan satu malam pun tanpa menghabiskan waktu bersama di ruangan yang tak begitu lebar yang dipenuhi kenangan-kenangan kita dulu ini. Aku bisa melihat bayang-bayang kehadiranmu dari ingatanku yang dulu setiap malam akan datang dari arah dapur dengan berbagai camilan yang sudah kamu siapkan untuk aku dan malaikat cantik kita yang tengah menikmati waktu bersama di hadapan televisi dengan menonton berbagai jenis film animasi favoritnya. Lalu kita bertiga akan duduk bersama hingga akhirnya malaikat cantik kita tertidur setelah masuk ke menit-menit akhir film dan malam akan berakhir dengan ciuman diam-diam yang kita lakukan kala anak kita yang cantik itu sudah aku gendong ke kamar tidurnya.

Dan ternyata air mata ini sudah mengalir dengan begitu derasnya, Sayang. Lagi dan lagi kamu selalu membuatku menangis hingga rasa sesak ini juga terlihat begitu percaya diri untuk membuatku tumbang dan segera berlari menuju dapur untuk mencari kunci menuju jalan pintas yang hampir aku temui di beberapa hari yang lalu namun aku gagal untuk melewatinya.

Lalu mataku kembali tertuju pada satu pisau tajam yang muncul seperti sebuah tokoh utama yang begitu bercahaya dan dengan sinarnya mampu membuatku ingin segera menyentuhnya dan mencumbunya dengan nadiku. Aku segera berlari untuk menyentuhnya, Sayang.

Aku harap, malam ini aku benaran bisa menemukan pintu menuju jalan pintas itu agar aku bisa secepatnya menemuimu. Aku genggamnya erat-erat dan rasa sesak di dada ini semakin mengikatku tanpa ampun dari dalam seolah ia benar-benar sudah siap untuk aku lepaskan dengan pisau tajam di tanganku ini. Segera aku membawanya menuju kamar kita karena itu adalah satu-satunya tempat di mana aku bisa mati dengan segala bayangan ingatan tentangmu. Pun malam ini, aku berani memasuki kamar tidur kita tanpa takut lagi karena aku akan mati di sini. Bersama segala ingatanku tentangmu di ruangan ini.

 Aku berjalan pelan-pelan dan penuh hati-hati karena aku begitu takut jika nanti ada yang terbangun dan kembali mencegah kematianku sebelum aku bisa bertemu denganmu. Seolah semesta sudah mengizinkan aku untuk mati, malam ini aku bisa membunuh diriku sendiri tanpa ada detik-detik sayu yang bisa mengganggu keputusanku kali ini.

Tak ada ibu yang terganggu dengan langkah gusarku, tak ada ayah yang datang untuk mencemaskanku, pun malaikat cantik kita yang berparas bidadari itu juga malam ini terlihat begitu pulas dalam tidurnya karena mungkin kamu tengah bermain dengannya di sana untuk merayunya agar tak bangun dan mengganggu keputusan ayahnya yang pengecut ini. Aku segera duduk di closet dan cepat-cepat mengunci pintu kamar mandi kamar kita dari dalam agar siapapun tak bisa masuk sebelum aku benar-benar sudah tiada.

Sayang…

Tunggulah aku malam ini, tunggulah aku dengan gaun cantik dan senyum manismu itu. Peluk aku dengan hangat jika aku sudah datang nanti. Karena kamu tak pernah mau berkunjung di mimpiku, maka mala mini aku yang akan datang ke mimpimu.

Pisau tajam yang sudah tak sabar untuk memotong nadiku ini aku bawa kembali ke pergelangan tanganku yang masih jelas bekas luka potong yang aku lakukan beberapa hari yang lalu. Aku akan menimpanya kembali dengan luka yang baru agar semuanya bisa menyatu dan dapat mengantarku padamu. Malam ini, Sayang, beri aku sebuah kecupan yang lama setelah aku tiba.

Aku menekan pisau tajam ini di atas bekas lama yang baru mengering lukanya. Aku memejamkan mata dengan sebuah senyuman lebar yang aku rasa aku tak pernah menampakkan senyum selega dan selebar ini setelah kepergianmu. Malam ini, aku benaran sudah berada di pintu menuju jalan pintas ini dan hanya menunggu beberapa langkah lagi untuk aku bisa memelukmu dan mengecupmu yang sudah berdiri di balik pintu menuju jalan pintas itu.

Dalam mataku yang tertutup rapat ini, kedua daun telinga yang seharusnya aku tutup rapat-rapat juga ini ternyata masih bisa menangkap suara yang cukup mampu membuyarkan fokusku untuk mengakhiri hidupku sendiri. Dan sekali lagi suara tangis yang berteriak-teriak seolah meminta tolong itu berhasil menghentikan pisau yang sudah mengiris kulit bagian atas pergelangan tanganku. Dan ketika aku membuka mata, tangisan itu semakin mengencang dan melengking. Aku masih diam karena berharap ada satu dua orang yang terbangun akan tangisan itu dan mau menolong bayi berumur dua puluh hari menuju tiga minggu tanpa nama itu. Tapi ini sudah hampir lima menit tangisan itu memekikkan telinga namun tak ada yang menenangkannya sama sekali.

Lihat selengkapnya