Pagi ini, untuk yang kedua kalinya aku harus duduk di sebuah bangsal dan harus dirawat oleh seorang perawat yang sama dengan yang merawat luka sayatanku beberapa hari yang lalu ini, Sayang. Mungkin dalam hati ia tengah menggunjingku karena belum lama waktu berlalu dan aku sudah kembali menjajah jarum dan benangnya di tempat yang sama.
“Kenapa sudah kembali lagi ke sini, Pak? Padahal saya selalu berdoa untuk tidak kembali bertemu dengan para pasien yang datang ke sini.” tanyanya berbasa-basi karena di ruangan ini hanya tersisa kami berdua karena ibuku tak bisa menahan tangisnya melihat pergelengan tangan anaknya dijahit berlapis-lapis.
Aku tersenyum kecil, “Saya suka datang ke rumah sakit ini.”
“Kenapa begitu, Pak?”
“Karena di sinilah satu-satunya tempat saya bisa melihat orang-orang yang kehilangan harapan dan tengah berharap mati-matian. Seolah mereka lebih menderita dibanding saya.”
Ia hanya mengangguk-angguk dengan senyum formalitas yang aku tahu betul bahwa jawabanku tidak memuaskan pertanyaannya dan malah membuatnya hilang hormat padaku karena aku terlihat tak lebih dari seorang tanpa hati yang suka sekali melihat orang lain merasa lebih menderita.
“Sudah selelasi, Pak.” Kata sang perawat sembari melepas sarung tangan latex dari jemarinya.
Aku berdiri dari bangsal dan segera keluar dari ruangan ini. Aku menemukan ibu yang tengah duduk di kursi tunggu dengan wajah cemasnya dan setelah ia menyadari bahwa putranya sudah keluar dari ruangan, ia segera berdiri dan menghampiriku cepat-cepat seolah takuh dingin dan mata terut jika aku kehilangan tangan kiriku. Aku segera memeluk tubuhnya dan membawanya berjalan menuju pintu keluar.
Kami berdua berjalan beriringan, Sayang. Melewati berbagai ruangan dengan fungsi yang berbeda, pun melewati barisan manusia yang memasang raut wajah berbeda per orangnya. Ada yang masih bisa bercengkerama penuh senyum dan tawa bersama yang lain, ada yang melamun sendirian di kursi asing, ada yang saling berpelukan dan bertautan tangan, pun ada juga yang menangis meronta-ronta di lantai dingin dan aku sudah tahu pasti alasan di balik tangisan yang pilu itu. Karena aku sudah pernah ada di situ, di posisi itu, bermalam di lantai penuh air mata karena aku tak kuasa melihatmu terbujur kaku dengan tubuh dingin dan mata terpejam erat.
Hingga kini akhirnya aku harus melewati tempat sakral ini, Sayang. Tempat di mana segala harapan tengah diusulkan dan diteriakkan pada Tuhan yang aku yakin Ia tak akan pernah mau mendengar segala permintaan mereka. Dari sela-sela pintu yang sedikit terbuka, aku bisa melihat dengan jelas di mana berbagai jenis rupa manusia tengah menengadahkan kedua tangan mereka dengan penuh air mata dan ketulusan yang tak kalah besarnya. Aku berhenti sebentar hanya untuk menghabiskan waktuku dengan menikmati segala kesengsaraan mereka seolah aku ingin berteriak pada mereka, “Tuhan yang keparat itu tak akan pernah mendengarkan permintaan kalian. Jangan terlalu berharap karena hanya kekecewaan yang akan menjemput kalian.”
Aku tersenyum kecil, ini bukan senyum bahagia melainkan sebuah senyum pilu yang mengandung perasaan iba karena meski aku terlihat begitu kejam, dalam hati aku merasa ikut terluka karena aku tahu betul apa yang mereka rasakan saat ini karena aku sudah pernah merasakan segala keputusasaan itu. Aku sudah pernah bersujud sedalam itu, aku sudah pernah berlutut hingga lututku berdarah-darah karena begitu sering aku gesekkan pada lantai tempat sakral ini. Aku pun sudah pernah menangis-nangis dengan penuh sengsara berharap Tuhan akan merasa iba dan mengabulkan doa yang aku pinta namun ternyata Ia tak lebih dari sesosok narsis yang begitu egois dan keparatnya bukan main. Aku sudah pernah merasakan segala yang tengah mereka tangis sekarang ini.
Mungkin rumah sakit memang tempat di mana orang-orang bisa menjadi sosok yang paling jujur.
Kita bisa melihat segalanya dari tempat menyeramkan ini, Sayang. Kita juga bisa menilai segalanya karena dengan tempat menakutkan ini, kita bisa memilah dan membedakan mana yang tak rela orang terkasihnya terluka dan kita bisa melihat mana yang munafik dan hanya datang menjenguk sebagai bentuk kesopanan saja tanpa mengikutsertakan rasa iba dari dalam hati mereka. Aku juga bisa menilai mana dari mereka yang benar-benar merasa kehilangan dan mana yang menitikan air mata palsunya. Aku benar-benar sudah hapal dengan segala jenis raut wajah di tempat ini, Sayang. Dan semua kepekaan itu lahir karena sebuah kehilangan besar yang aku rasakan setelah kepergianmu hari itu.
Lagipula tempat ini memang lebih cocok dipanggil sebagai tempat di mana manusia lahir dan berpulang. Tempat ini selalu menjadi tempat para roh berkumpul dan bercengkerama, roh manusia, roh malaikat. Semuanya menjadi satu, saling berkumpul di dunia roh yang hampir saja aku kunjungi dua kali namunaku selalu gagal untuk sampai di sana.
“Nak, kenapa berhenti? Ayo pulang, hari ini kamu harus menjemput putrimu.”
Aku terbangun dari lamunan panjang dan segera berjalan kembali bersama ibu karena ia baru saja mengingatkanku bahwa hari ini aku harus menjemput malaikat cantik kita dari sekolahnya dan aku harus memberitahunya bahwa ayahnya yang pengecut ini baik-baik saja dan tak akan pernah meninggalkannya. Jadi aku harap kamu tak membenciku, Sayang. Aku sebenarnya sangat ingin menyusulmu namun mengingat apa yang diucapkan ibu tadi malam ada benarnya juga bahwa malaikat cantik dan peri kita yang manis itu adalah tanggungjawabku bukan tanggungjawab kedua orang tua kita sehingga tak seharusnya aku selalu meninggalkan kedua putri kesayangan kita pada mereka yang seharusnya bisa menikmati hari tua tanpa cemas dan kekhawatiran seperti yang mereka rasakan akhir-akhir ini. Sungguh aku mohon jangan berpikiran bahwa aku memilih untuk hidup karena aku tidak mencintaimu lagi.
Aku mohon, Sayang. Aku mohon.
Mungkin jika nanti, di suatu saat nanti ketika kedua putri kita sudah menemukan takdir bahagia dan teman hidup setia yang mampu bersumpah akan melindungi mereka hingga akhir hayat, itu akan menjadi waktu yang tepat untuk aku menyusulmu. Maka tunggulah aku hingga saat itu tiba, mungkin memang akan memakan waktu yang lama, tapi aku harap kamu tak akan pernah lelah menungguku di sana. Aku juga mohon tunggulah aku dengan gaun cantik dan senyummu yang manis itu. Aku mohon, sekali lagi aku mohon padamu jangan pernah berpikiran bahwa aku memilih untuk bertahan hidup lagi karena aku sudah lupa akan kematianmu dan aku sudah tak mencintaimu lagi.
Aku sungguh memohon kepadamu, Sayang.
Juga aku akan meminta maaf lebih awal kepadamu karena mungkin sedikit banyak aku akan lebih sering menghabiskan waktuku dengan bermain bersama kedua putri kita dibandingkan untuk mengingatmu. Tapi aku bersumpah aku tak akan pernah melupakanmu, Sayang. Maka janganlah berburu-buru menganggap aku sudah melupakan segalanya tentangmu jika aku lebih sering menciumi kedua putri kita dan memeluk keduanya.
Mobil yang aku kendarai ini sudah berhenti di hadapan gerbang sekolah malaikat cantik kita, Sayang. Sebentar lagi ia sudah sampai di jam pulangnya, mungkin tiga menit lagi kita akan melihatnya berlari dari dalam kelas dan keluar dengan menggendong ranselnya bersama satu botol minuman yang mengalung di lehernya, bergeal-geol mengikuti arah kakinya. Nah itu dia, baru saja kita gunjing malaikat kita yang sungguh cantik itu sudah terlihat, aku segera menurunkan kaca mobil ketika dirinya tengah menoleh kanan kiri untuk mencari keberadaan mobil kita yang aku parkirkan di tempat yang memang jarang aku tempati. “Ayah!”
Suaranya segera memekik kala kedua netranya yang merupakan turunan dari milikmu itu sudah menemukan aku yang mengintip dari kaca mobil untuk melambaikan tanganku padanya. Seorang satpam membuatnya lebih nyaman untuk menyeberangi jalanan karena jalur ini memang cukup ramai dilalui para warga. “Hai, Sayang.” sapaku sembari meminta ranselnya ketika malaikat kita yang cantik itu sudah duduk di kursi penumpang di samping kemudi yang dulu adalah milikmu.
Ia menyodorkan ranselnya padaku dan aku segera menaruhnya di kursi belakang karena aku tak mau ia merasa tidak nyaman dengan perjalanannya menuju pulang. “Ayah,”