Hari ini aku kembali berkunjung ke kamar tidur peri manis kita yang kemarin lusa baru saja aku sambangi setelah dirinya berhasil menggagalkan tindakan ayahnya yang pengecut ini, Sayang. Hari di malam yang baru berkunjung ini, aku ingin menggendongnya sekali lagi untuk meyakinkan diri bahwa peri manis kita tidak salah dalam kesengsaraan ini dan dia bukanlah penyebab kamu pergi lebih dulu. Hari ini, aku ingin berdamai dengannya dan aku ingin berhenti menganggapnya sebagai pembawa sial dan membenci keberadaannya. Aku ingin berubah menjadi sosok ayah yang bisa ia banggakan di hari yang mungkin akan datang nanti, Sayang.
Kakaknya, si malaikat cantik juga mengikutiku dari belakang karena ia terlihat begitu bahagia setelah menemukan fakta dari cerita kedua neneknya bahwa aku sudah bisa menggendong adiknya yang manis dan walau hanya sepintas-sepintas sudah bisa bertukar sorot mata dengan adik kesayangannya.
“Ayah nggak boleh takut lagi sama Adik, ya.” Pesannya sebelum kami berdua memasuki ruangan yang telah kita rombak beberapa bulan lalu.
Aku mengangguk seolah aku adalah muridnya yang siap melakukan segala perintah yang diucapkan olehnya. Dan putri pertama kita yang amat cantik itu begitu lihai menuntun tanganku masuk ke ruangan kamar si peri manis yang sudah menunggu kehadiranku di gendongan neneknya. “Ayah, ayo!” tegas malaikat cantik kita karena aku mulai berat menarik kakiku dan ia menyadarinya.
“Sebentar, Sayang. Ayah mau ambil napas dulu.”
“Ayo, Ayah…”
“Sebentar, Nak…”
“Ayah… Adik sudah nunggu kita…”
Aku menarik napas begitu dalam, Sayang. Aku kira setelah kejadian di malam lusa kemarin, aku akan bisa lebih mudah untuk bertemu dengan putri kedua kita. Aku kira aku akan bisa menggendong dan menimangnya tanpa gemetar lagi. Tapi ternyata aku masih sepengecut ini, Sayang. Ternyata aku tetap seorang ayah pengecut yang bahkan untuk bertemu putri manisnya saja ia masih takut dan gemetaran. Aku rasa malaikat cantik kita juga merasa cukup terganggu dengan diam dan payahku yang masih belum bisa mengangkat kaki sedikitpun. Sehingga ia menungguku dengan gusar dan tetap menarik-narik telapak tanganku yang sudah digenggamnya erat-erat.
“Ayah… Ayah pasti bisa.”
Pelan-pelan aku mencoba mengangkat kaki dan kembali berjalan dengan ditarik oleh malaikat cantik kita yang masih memimpin perjalanan kali ini. Ibuku di depan sana sudah menggendong peri manis kita yang sedari tadi tengah memainkan kedua kakinya asal, dan tangannya sudah terangkat-angkat seolah ia sudah tak tahan untuk terbang menuju gendongan ayahnya yang pengecut ini. Sedikit lagi, Sayang. Sedikit lagi aku akan bisa melihat wajahnya, sebentar lagi aku akan bisa menemukan wajahnya yang merupakan duplikat dari wajahmu.
Ibu menatapku dengan ragu dan penuh kecemasan. Aku tahu betul alasan di balik rautnya yang seperti ini karena aku sendiri juga masih ragu pada diriku apakah aku benar-benar bisa menggendong peri kita yang manis ini atau tidak. “Kamu benaran sudah siap, Nak?”
Aku menarik napas kembali dan kali ini lebih dalam dari tarikan yang tadi. Lalu aku mengangguk, dengan sisa-sisa ragu yang aku yakin betul Ibu pasti masih bisa menangkap sinyal keraguan ini dariku. “Iya, Bu.”
Peri manis kita yang begitu lucu ini membuka kedua netranya lebar-lebar menatap langit-langit, Sayang. Lalu ketika aku bersuara, ia mulai melirik dan menggerak-gerakan matanya seolah mencari dari mana sumber suara yang baru saja ia dengar. Ibu mengangkatnya dari gendongannya dan aku mulai menyiapkan diri untuk menerima peri manis kita dan mengambil alih peri manis kita dari gendongan neneknya yang dari siang berjaga karena Ibumu harus pulang lebih dulu karena ia sudah lama sekali tak pulang karena terlalu sibuk menemaniku dan menemani kedua cucunya di rumah kita yang sudah tak ada dirimu lagi.