TUHAN (TAK) KEPARAT

february
Chapter #26

Hari kedua puluh tiga

Tangan kiriku kebas sekali.

Entah karena mati rasa atau mati rasa. Rasa kebas yang begitu berat ini membangunkanku dari tidur yang aku rasa tidur tadi adalah pertama kalinya aku merasakan tidur yang sepanjang ini tanpa terbangun dan tangisan setelah kepergianmu selama dua puluh tiga hari ini, Sayang. Aku yakin ini adalah tidur ternyaman dan terlelapku selama tiga minggu lebih ini.

Aku menengok tangan kiriku yang masih begitu kebas dan mati rasa ini, Sayang. Dan aku yakin kamu pasti akan tersenyum begitu lebar jika kamu ikut serta dalam tidur panjang keluarga kita malam ini karena pagi ini untuk pertama kalinya aku terbangun dengan malaikat cantik dan peri manis kita yang sama-sama masih terlelap menghadapku dengan menggunakan lenganku sebagai bantal yang mengantar kantuk mereka menjadi mimpi panjang yang aku harap isinya hanya penuh kebahagiaan.

Lukisan pagi ini begitu menenangkan jiwa, Sayang. Dua lukisan cantik dan manis yang lahir dari rahimmu ini ternyata memang akan selalu menjadi obat ketenangan bagiku yang hampir mengakhiri hidupku sendiri karena aku sudah tak bisa menahan kerinduanku padamu kemarin. Hari ini pun aku rindu padamu, tapi aku sepertinya sudah mulai ingin tinggal sedikit lebih lama di dunia ini karena aku masih ingin menikmati pemandangan menenangkan ini setiap paginya. Maafkan aku, Sayang. Ternyata aku memang tak lebih dari seorang pembohong ulung seperti yang aku sering makikan kepada Tuhan. Ternyata aku tak beda jauh dari Tuhan yang suka ingkar janji. Karena kini pelan-pelan aku mulai ingin hidup lagi, meski bukan dengan tujuan untuk diriku sendiri. Tapi aku benar-benar mulai tergoda untuk mengikuti tumbuh kembang malaikat cantik dan peri manis kita setiap hari. Maafkan aku, Sayang. Maafkan aku.

Matahari ikut serta mencium kedua putri kita karena aku rasa ia juga tak kuasa menahan kegemasannya kepada malaikat cantik dan peri manis kita yang begitu lucu ini. Ia sampai-sampai rela mencuri kesempatan untuk mengecup wajah kedua putri kita lewat celah-celah jendela yang terpasang menghadap kolam renang. Aku jadi ingin ikut menciumnya juga.

Aku rasa ini juga pertama kalinya aku mengirim sebuah kecupan lembut di wajah peri manis kita selama ia lahir di dunia ini dan setelah dirimu tiada. Ini akan menjadi yang pertama ia akan menerima kecupan dari ayahnya. Dan aku harap kecupanku tak mengganggu tidur lelapnya dan aku harap ia akan bahagia dalam mimpinya. Juga diam-diam aku berharap di dalam mimpi yang mungkin masih belum ia mengerti itu, aku harap kamu berkenan hadir untuk menimangnya penuh kasih dan menyanyikannya berbagai lagu penenang seperti yang dulu selalu kamu lakukan pada kakaknya, si malaikat cantik yang sudah merasakan segalanya dari kita. Di mulai dari berbagai perhatian yang sempurna, kebahagiaan yang lengkap dari Ayah dan Bundanya, dan tak lupa sebuah rasa duka yang begitu luar biasa. Ia sudah merasakan segalanya. Malaikat kita yang cantik itu sudah terlalu banyak merasakan berbagai jenis emosi dan rasa yang tercampur-campur ini.

Dua putri kita yang cantik dan manis ini sepertinya masih tak ada tanda-tanda akan terbangun segera, Sayang. Mereka benar-benar terlihat seperti tengah menikmati sebuah tidur lelap dan terlena dalam mimpi yang menyenangkan pun mampu menenangkan mereka. Atau mungkinkah kamu hadir di sana dan tengah bermain dengan keduanya, Sayang? Ah, aku jadi iri akan keduanya, Sayang. Karena aku yang merupakan ayahnya saja belum pernah merasakan mimpi indah dengan kehadiranmu yang terbalut gaun cantik dan senyum manis seperti yang biasanya kamu kenakan setiap kali berkunjung ke mimpi malaikat cantik kita. Aku harap aku tak harus menunggu lebih lama lagi untuk kamu mau dan berkenan hadir ke mimpi suamimu yang malang dan pengecut ini, Sayang. Aku harap kamu mau hadir untuk memberiku kecupan juga.

Aku mencecap jarak dan memeluk kedua putri kita yang masih terlelap, Sayang. Dan entah asalnya dari mana, aku bisa merasakan sebuah hangat peluk dan hadirmu yang tiba-tiba saja terasa mendekap tubuhku dari belakang. Namun ketika aku menoleh untuk mencari hadirmu, Sayang, aku tak bisa menemukan apapun selain sunyi sepi ranjang kecil milik peri manis kita yang terdampar kosong karena penumpangnya telah tertidur di pelukan ayahnya yang baru menerima kehadirannya ini.

“Ayah…”

Suara malaikat cantik kita mengganggu pencarianku atas hadirmu, Sayang. Ternyata ia sudah mulai bergeliat dan menguap kecil karena baru terbangun dari tidur nyamannya. Aku segera menjemput kesadarannya dengan sebuah senyum manis karena aku ingin membuatnya merasa semakin nyaman di awal harinya. “Sudah bangun, Nak?”

Lihat selengkapnya