TUHAN (TAK) KEPARAT

february
Chapter #28

Tuhan tak Keparat

Aku membuka mata dan kali ini aku tengah berdiri di dekat dapur, menatap pintu ke arah taman mungil impianmu yang terbuka. Aku bisa melihat bunga-bunga melati itu kali ini mekar begitu besar, tak seperti biasanya. Aku sudah hapal betul segala bunga dan tanaman di taman kita, Sayang. Tapi kali ini entah mengapa mereka semua terlihat begitu subur dan mekar bahagia.

Di depan sana matahari terlihat lebih cerah dari biasanya, pun samar-samar aku bisa melihat kain tipis yang bergerak tanpa laras terbawa angin yang ikut mengumandangkan dedaunan untuk bergerak mengikuti ke manapun ia pergi. Aku mencoba berjalan mendekat untuk melihat dari mana kain yang tak kunjung diam itu. Benar apa yang aku bilang tadi, tanaman-tanaman di taman rumahku ini benaran terasa lebih lebat pun lekat dari biasanya. Bunga matahari yang beberapa hari lalu sudah layu kini juga kembali rekah, para melati mekar tanpa malu seolah hari ini mereka ingin sekali memamerkan segala indah sucinya pada seseorang yang akan mudah tergoda olehnya.

Angin membawaku untuk menengok sudut taman yang di sana sudah ada sesosok berperawakan mirip sepertimu, Sayang. Ia membelakangiku karena ia sepertinya tengah sibuk menciumi aroma melati, ia mengenakan sebuah gaun tipis yang aku rasa itu adalah sumber dari kain yang menari-nari memanggilku untuk datang tadi. Aku mencoba untuk mendekatinya. Kucium aroma yang sungguh familiar, rambutnya yang panjang bergelombang tergerai lembut. Dari balik pepohonan aku bisa melihat sosok-sosok lain yang seolah tengah bersembunyi namun aku bisa melihat sayap-sayap panjang yang mengintipku saat ini. "Mas..."

Aku terdiam tanpa suara.

Aku bisa merasakan jantungku yang berdegup lemah seolah sebentar lagi aku akan mati. Perempuan yang begitu mirip denganmu itu menoleh padaku, Sayang. Ia tersenyum begitu cerah, aku yakin matahari di atas sana merasa tersaingi karena senyumannya. Aku bisa dengan jelas melihatnya tengah memeluk segerombol tangkai-tangkai tulip putih dalam dekapannya, "Mas... Kenapa diam saja?"

"Sayang..."

"Iya, Mas. Ini aku, Diah, istrimu."

Tangisku sudah tak bisa aku bendung lagi dan aku segera berlari menuju pelukannya, kini, aku benar-benar bisa memeluk tubuhnya. Dan dia benar-benar datang padaku dengan gaun cantik dan senyum manis seperti yang selalu ia kenakan setiap kali berkunjung ke mimpi putrinya. Aku benar-benar bisa memeluk tubuhnya lagi. Aku benar-benar bisa meraup aroma tubuhnya yang hampir samar hilang dari ingatanku. "Malam ini, aku akan memelukmu, Mas. Yang lama, seperti yang kamu pinta selama ini. Maaf karena aku baru berkunjung malam ini."

Lihat selengkapnya