Tuhan yang Kesepian

Bentang Pustaka
Chapter #3

Koper

Ia tak layaknya Louis Vuitton, YSL, Prada, atau tas bermerek lainnya. Ia hanya barang besar yang bisa meringkus banyak pakaian untuk dikemas. Oleh karena itu, ia tidak berharga dalam ukuran rupiah. Namun, ia begitu berharga bagi sebuah jejak dan sejarah hidup.

Saya kali ini jadi teringat cerita sebuah koper itu. Ya, hanya sebuah koper atau tas besar. Tas milik seorang dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang jebolan Punjab University, Pakistan. Cerita koper itu begitu mengesan di hati karena koper itu juga rupanya menjadi peranti pembelajaran yang sangat mahal harganya bagi orang yang mengerti apa itu menjadi pejabat dan apa itu berkuasa.

Menjadi pejabat sesungguhnya berkah yang berlimpah. Setidaknya, Tuhan sedang memberikan kepercayaan kepadanya lewat tangan-tangan manusia. Dan, kita tahu hanya sedikit orang yang mendapatkan berkah ini. Pelajaran yang menyadarkan kalau menjadi pejabat adalah mengemban tugas dan amanah. Oleh karena itu, menjadi pejabat juga tak harus berarti mengubah gaya hidup dan jalan hidup.

Kita semua tahu bahwa pada dekade pascareformasi para pejabat sepertinya sedang berlomba-lomba mengubah gaya dan jalan hidupnya. Mereka bahkan berpenampilan dengan meniru gaya hidup dan jalan hidup para artis atau selebritas. Gaya hidup yang kerap disebutnya sebagai sosialita, sebuah istilah yang melejit bersamaan dengan kasus Nurbaiti, kasus terpidana suap pemenangan gubernur BI, Miranda S. Gultom.

Oleh karena itu, saya mendapatkan kesan mendalam dari koper tersebut. Koper yang mungkin sudah tidak ada juntrungnya lagi, tetapi tetap ada dalam alam imajinasi saya dan mungkin banyak orang yang mengetahui ceritanya.

Adalah sosok Alm. Mukti Ali, orang kelahiran Cepu, sang empunya koper. Dia adalah Menteri Agama era Soeharto pada periode 1971–1976, menggantikan H. Ahmad Dahlan. Jalannya berliku untuk menjadi menteri. Lebih dari itu, penunjukannya juga seperti sebuah keajaiban yang datang dari langit. Saya sendiri memaknai penunjukannya yang mengagetkan itu adalah buah dari kesabaran dan tawakalnya. Betapa tidak?

Mukti Ali sendiri sebelumnya hanya seorang dosen di UIN (saat itu IAIN,—ed.) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dia adalah dosen yang dikagumi untuk bidang kajian Perbandingan Agama. Karena popularitasnya, dia kemudian dipromotori dan didukung banyak sivitas akademika untuk menjadi dekan fakultas. Namun, pada hari menjelang pelantikannya, dia tiba-tiba dijegal sang rektor. Jabatan dekan pun lenyap dalam hitungan sekejap oleh tangan sang rektor.

Akan tetapi, hidup tak lain hanyalah permainan! Sebuah permainan yang dengan mudah menjadi kalah dan menang. Menjadi beruntung dan buntung. Dan, itulah hidup yang sedang merapat ke Mukti Ali.

Rupanya, tak berapa lama kemudian dia malah diangkat menjadi menteri agama! Gagal menjadi dekan malah dipilih jadi menteri agama yang bisa mencopot para rektor UIN (IAIN)?

Saat itu, banyak orang berspekulasi kalau sang rektor yang menjegalnya dulu bakal dicopot sebagai balas dendam. Ternyata spekulasi itu salah.

Lihat selengkapnya