Tujuh Hari Untuk Sekar

Baggas Prakhaza
Chapter #2

Kedekatan yang Tumbuh

Langit masih ingat pertemuannya dengan Sekar di taman beberapa waktu lalu. Ada sesuatu yang berbeda sejak hari itu, sesuatu yang tidak bisa dia abaikan. Meski dia terbiasa dengan kesendirian, kehadiran Sekar meninggalkan jejak yang tidak bisa dia hilangkan begitu saja. Langit masih ingat tawa riang gadis itu dan senyum hangat yang terus terbayang di benaknya. Sekar adalah kebalikan dari dirinya, seorang gadis yang ceria, penuh semangat, dan tidak pernah menyerah untuk membuat orang lain tersenyum.

 Hari demi hari, mereka semakin sering bertemu. Setiap kali Langit pergi ke taman untuk menikmati kesunyian, Sekar selalu ada di sana. Dia selalu menghampiri Langit dengan senyum cerah, seolah tidak peduli dengan dinginnya sambutan yang diberikan oleh Langit. Bagi Sekar, Langit adalah tantangan yang menarik. Dia tidak pernah bertemu dengan seseorang yang begitu tertutup, dan dia merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik sikap dingin Langit yang membuatnya ingin lebih dekat.

 Langit, di sisi lain, merasa canggung setiap kali Sekar mendekatinya. Dia tidak terbiasa dengan orang lain yang berusaha masuk ke dalam kehidupannya. Baginya, hidup sudah cukup rumit tanpa kehadiran orang lain. Dia tidak ingin ada orang yang terlalu dekat dengannya, karena dia tahu bahwa pada akhirnya, mereka akan pergi seperti orang tuanya. Namun, Sekar berbeda. Dia tidak pernah menyerah, bahkan ketika Langit berusaha menjauh.

 Setiap hari, Sekar selalu menemukan alasan untuk berbicara dengan Langit. Kadang-kadang, dia akan membawa bunga dari taman dan menawarkannya kepada Langit. "Ini untukmu," katanya sambil tersenyum. Langit selalu menolak dengan sopan, tetapi Sekar tidak pernah tersinggung. Dia hanya tertawa dan mengatakan bahwa bunga itu akan menunggu sampai Langit siap menerimanya.

 Ada juga saat-saat ketika Sekar membawa buku atau sesuatu yang menarik untuk dibicarakan. Dia selalu memiliki cerita yang ingin dia bagikan, dan meskipun Langit tidak selalu merespons dengan antusias, dia mendengarkan dengan diam-diam. Lambat laun, Langit mulai terbiasa dengan kehadiran Sekar. Meski dia masih merasa canggung, ada sesuatu yang hangat setiap kali Sekar berada di dekatnya.

 Suatu hari, ketika mereka duduk di bangku taman yang sama, Sekar memecah keheningan. "Langit," katanya dengan nada serius, "kenapa kamu selalu sendirian di sini? Apa yang kamu pikirkan setiap kali kamu melihat langit?"

 Langit terdiam sejenak, tidak tahu harus menjawab apa. Dia tidak pernah berbicara tentang perasaannya kepada siapapun. Namun, ada sesuatu dalam cara Sekar menatapnya yang membuatnya merasa aman untuk berbicara. "Aku suka melihat langit," jawabnya pelan. "Di sana, aku merasa bebas. Tidak ada yang mengikatku. Tidak ada yang memaksaku menjadi sesuatu yang bukan diriku."

 Sekar tersenyum mendengar jawaban itu. "Aku mengerti," katanya. "Langit itu luas dan bebas, seperti mimpi yang tidak terbatas. Tapi, jangan biarkan dirimu terlalu jauh terbang, Langit. Kadang-kadang, kita perlu merasakan tanah di bawah kaki kita."

Lihat selengkapnya