Tujuh Hari Untuk Sekar

Baggas Prakhaza
Chapter #6

Kekososngan itu Telah Terisi

Angin sore berhembus lembut, membuat daun-daun di atas kepala mereka bergemerisik pelan. Sekar masih memegang bunga tulip pink di tangannya, seperti yang selalu ia lakukan. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda di matanya—sebuah pertanyaan yang sudah lama ia simpan, tapi belum pernah mendapatkan jawaban.

Sekar menghela napas, menatap Langit dengan penuh perasaan. "Langit," katanya dengan lembut, "kenapa kamu tidak pernah bersama kedua orang tuamu? Aku tahu ini bukan pertama kalinya aku menanyakan ini, tapi... aku ingin tahu, dan aku peduli."

Langit diam sejenak, menundukkan kepalanya. Pertanyaan itu sudah sering dilontarkan oleh Sekar, namun selalu ia abaikan. Tapi kali ini, ada sesuatu dalam nada suara Sekar yang membuatnya merasa tidak bisa terus bersembunyi. Sekar bukan hanya sahabat, tapi seseorang yang telah mengisi kekosongan dalam hidupnya, meskipun ia jarang mengakuinya.

Langit menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara tentang sesuatu yang selama ini ia simpan rapat-rapat. "Sekar," katanya pelan, "sebenarnya, kedua orang tuaku tidak pernah memberikan kebahagiaan atau warna dalam hidupku. Mereka selalu sibuk bekerja, dan sejak kecil, aku harus hidup sendiri."

Sekar terdiam, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Langit. Ia bisa merasakan beban berat yang ada dalam kata-kata itu. "Sejak aku berumur 7 tahun," lanjut Langit, "aku dititipkan kepada kakekku. Orang tuaku selalu berada di luar negeri, sibuk dengan pekerjaan mereka, dan aku ditinggalkan di sini. Kakekku adalah satu-satunya yang merawatku, tapi... kakekku sudah lama tiada. Sejak itu, aku benar-benar hidup sendiri."

Sekar menatap Langit dengan mata berkaca-kaca. Ia selalu merasa bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Langit, sesuatu yang membuatnya terlihat dingin dan jauh. Kini, semuanya mulai masuk akal. "Langit..." suara Sekar bergetar, dipenuhi dengan emosi. Ia tidak bisa membayangkan betapa sepinya hidup Langit selama ini.

Langit tersenyum pahit, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang ia rasakan. "Orang tuaku selalu mengirimkan uang, tapi... uang tidak pernah bisa menggantikan kehadiran mereka. Setiap kali aku melihat anak-anak lain bersama orang tua mereka, aku selalu merasa ada yang hilang dalam hidupku. Aku terbiasa hidup dalam kesepian, dalam kekosongan."

Lihat selengkapnya