Tujuh Hari Untuk Sekar

Baggas Prakhaza
Chapter #8

Kehangatan

Hari itu, langit di luar sekolah tampak mendung. Awan-awan tebal bergelayut rendah seakan menahan hujan yang bisa turun kapan saja. Suasana di sekolah pun terasa lebih berat dari biasanya. Di sudut lapangan, di tempat biasanya anak-anak berkumpul untuk bermain atau sekadar mengobrol, Sekar duduk sendirian. Tatapan matanya menerawang, dan senyum cerianya yang biasa menghiasi wajahnya kini menghilang, digantikan oleh kesedihan yang sulit disembunyikan.

Sekar baru saja menerima kabar buruk dari salah satu gurunya. Ternyata, nilai ujian terakhirnya jauh di bawah ekspektasi, dan hal ini mengancam prestasi akademis yang selama ini ia pertahankan dengan susah payah. Bukan hanya soal nilai yang membuatnya terpuruk, tetapi juga rasa kecewa terhadap dirinya sendiri. Sekar selalu berusaha keras untuk memberikan yang terbaik, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang tuanya, yang selalu berharap banyak darinya.

Namun, kali ini, semua upayanya terasa sia-sia. Sekar merasa seperti gagal, bukan hanya sebagai murid, tetapi juga sebagai anak yang seharusnya bisa membanggakan orang tuanya. Pikirannya berkecamuk dengan berbagai rasa takut dan kekhawatiran. Bagaimana jika ia terus gagal? Bagaimana jika semua kerja kerasnya tidak cukup?

Saat itu, Langit, yang kebetulan sedang berjalan melintasi lapangan, melihat Sekar dari kejauhan. Dari cara Sekar duduk dan tatapan kosong yang terpancar dari matanya, Langit bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Tanpa berpikir panjang, ia segera menghampiri Sekar, meninggalkan semua hal yang semula ingin ia lakukan.

"Hei, Sekar," sapa Langit dengan suara pelan. Ia duduk di sebelah Sekar dan menatapnya dengan cemas. "Ada apa? Kamu kelihatan nggak seperti biasanya."

Sekar menoleh perlahan, mencoba menyembunyikan kesedihannya dengan senyuman yang dipaksakan. Namun, senyum itu tidak bisa menipu Langit. Ia sudah terlalu mengenal Sekar untuk bisa dibohongi dengan mudah.

"Nggak ada apa-apa, Langit. Aku cuma lagi kepikiran aja," jawab Sekar, suaranya sedikit bergetar. Meskipun ia berusaha untuk tetap tegar, ada air mata yang mulai menggenang di sudut matanya.

Langit tidak langsung bertanya lebih lanjut. Ia tahu, terkadang yang dibutuhkan seseorang bukanlah pertanyaan, tetapi kehadiran. Maka, ia hanya duduk di sana, diam, menunggu Sekar merasa siap untuk berbicara. Ia tidak ingin memaksa, tetapi juga tidak ingin meninggalkan Sekar dalam kesedihannya.

Lihat selengkapnya