Sore itu, sinar matahari mulai memudar di langit, memberikan suasana yang hangat dan damai di taman tempat Sekar dan Langit sering menghabiskan waktu bersama. Di bawah rindangnya pepohonan, mereka duduk berdua dengan buku-buku pelajaran terbuka di hadapan mereka. Sekar tampak serius mengerutkan keningnya, mencoba memahami rumus matematika yang ada di buku, sementara Langit duduk di sampingnya dengan ekspresi lebih santai.
“Kenapa sih harus ada matematika?” keluh Sekar sambil melempar pandangannya ke arah Langit yang sedang memainkan pulpen di tangannya. “Kenapa nggak ada pelajaran tertawa atau berlari saja? Aku pasti dapat nilai sempurna.”
Langit tertawa kecil mendengar keluhan Sekar. “Kalau ada pelajaran tertawa, aku yakin kamu bakal jadi juaranya. Tapi sayangnya, kita harus melewati ini, Sekar. Tenang, aku akan bantu kamu.”
Sekar hanya menghela napas panjang, lalu menatap buku catatannya dengan tatapan pasrah. “Tapi kenapa susah banget sih, Langit? Setiap kali aku coba mengerti, kepala aku rasanya mau pecah.”
Langit melihat Sekar yang tampak frustasi. Ia pun berpikir untuk sedikit menghibur sahabatnya itu. Dengan senyum usil, Langit tiba-tiba mengambil penghapus dari tangan Sekar dan menggunakannya untuk menggambar wajah lucu di buku catatan Sekar.
“Lihat, mungkin kalau rumus matematika dibuat lebih lucu seperti ini, kamu bakal lebih gampang mengerti,” candanya sambil menunjukkan gambarnya kepada Sekar.
Sekar menatap gambar lucu itu dengan senyum yang akhirnya terbit di wajahnya. “Langit! Kamu ini ada-ada saja. Tapi jujur, itu sedikit membantu,” katanya sambil tertawa kecil.
Langit merasa senang melihat senyum kembali menghiasi wajah Sekar. Ia pun dengan serius kembali menjelaskan rumus yang tadi sulit dimengerti Sekar, tetapi tetap dengan caranya yang ringan dan menyenangkan. Mereka pun bercanda sambil belajar, membuat suasana sore itu terasa lebih ringan dan menyenangkan.
Setelah beberapa saat, Sekar mulai merasa lebih percaya diri dengan materi yang mereka pelajari. Namun, di tengah-tengah canda tawa mereka, Sekar tiba-tiba terdiam. Tatapannya perlahan beralih dari buku catatan ke wajah Langit, yang sedang sibuk menjelaskan sebuah konsep. Dalam keheningan itu, Sekar menyadari betapa beruntungnya ia memiliki sahabat seperti Langit. Sahabat yang tidak hanya cerdas dan sabar, tetapi juga selalu ada untuk menghiburnya, menghapus segala rasa kesepian dan kegelisahan yang sering datang tanpa diundang.