Setelah meninggalkan taman, di mana mereka menghabiskan sore yang penuh dengan canda dan janji, Sekar dengan semangat mengajak Langit untuk makan malam bersama keluarganya. Langit awalnya ragu, tetapi senyuman dan antusiasme Sekar yang tulus membuatnya tidak mampu menolak. Akhirnya, ia pun mengangguk setuju.
“Kamu pasti suka masakan Bunda,” kata Sekar dengan senyum yang mengembang, sambil menggenggam tangan Langit. Mereka berdua berjalan menuju rumah Sekar, yang terletak tidak jauh dari taman.
Setibanya di depan rumah Sekar, Langit tertegun sejenak. Rumah itu tidak terlalu besar, tetapi sangat hangat dan penuh dengan kehidupan. Taman kecil di depannya dipenuhi oleh bunga-bunga yang tertata rapi, dan jendela-jendela yang dibiarkan terbuka memberikan nuansa hangat dari dalam rumah. Langit merasakan aura nyaman yang jarang ia temui dalam kehidupannya sendiri.
Pintu rumah terbuka, dan dari dalam muncul seorang wanita paruh baya dengan senyum hangat. “Selamat datang, Langit!” sambut Bunda Sekar dengan suara lembutnya. “Sekar sudah sering bercerita tentang kamu. Akhirnya kita bisa bertemu.”
Langit tersenyum canggung sambil membalas sapaan itu. “Terima kasih, Bunda. Saya juga senang bisa datang ke sini.”
Ayah Sekar muncul dari ruang tamu, mengenakan kemeja santai dan dengan senyum ramah. “Ayo, masuk, Langit. Jangan sungkan. Anggap saja seperti rumah sendiri,” ujarnya sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.
Langit menyambut jabatan tangan itu dengan hormat, merasa dihargai dan diterima. Sekar menghilang sebentar ke kamarnya untuk berganti pakaian, meninggalkan Langit bersama kedua orang tuanya di ruang tamu. Langit duduk di sofa yang nyaman, sementara Bunda Sekar sibuk di dapur, mempersiapkan hidangan makan malam. Ayah Sekar duduk di sebelah Langit, membuka pembicaraan dengan nada hangat.
“Kamu ini benar-benar teman baik Sekar, ya? Saya dan Bunda selalu khawatir karena Sekar dulu lebih banyak menghabiskan waktu sendiri. Tapi setelah berteman dengan kamu, dia jadi lebih ceria dan banyak bercerita,” kata Ayah Sekar dengan mata yang memancarkan kebanggaan.
Langit tersenyum mendengar itu. “Sekar juga teman yang baik, Om. Saya senang bisa berteman dengannya.”
Bunda Sekar muncul dari dapur sambil membawa nampan berisi teh hangat. Ia meletakkannya di meja dan berkata, “Langit, kami berterima kasih karena kamu sudah menjadi sahabat terbaik untuk Sekar. Dia banyak berubah sejak mengenalmu. Dia jadi lebih sering tersenyum dan tidak terlalu sering menyendiri seperti dulu.”