Tujuh Hari Untuk Sekar

Baggas Prakhaza
Chapter #12

Perasaan yang Tertahan

Langit berdiri di depan jendela kamarnya, menatap keluar ke arah langit malam yang dihiasi bintang-bintang. Pikiran dan hatinya terasa berat, dipenuhi oleh perasaan yang terus berkembang di dalam dirinya. Semakin hari, ia semakin sulit menyembunyikan perasaan yang telah lama ia pendam. Cinta. Sebuah kata yang begitu sederhana, namun mampu mengguncang seluruh dunianya. Sekar bukan lagi sekadar sahabat bagi Langit. Ia adalah pusat dari segala kebahagiaan di dalam hatinya.

Setiap kali Sekar berada di dekatnya, jantung Langit berdetak lebih cepat. Saat Sekar tersenyum, dunia seakan berhenti sejenak untuk memberikan ruang bagi Langit menikmati keindahan itu. Namun, di balik semua itu, ada ketakutan yang mendalam. Ketakutan bahwa jika ia mengungkapkan perasaannya, segalanya akan berubah. Ia tidak ingin merusak persahabatan yang telah mereka bangun dengan begitu baik. Tidak ingin kehilangan Sekar, meskipun dalam diam, Langit tahu bahwa menyembunyikan perasaan ini juga menyakitkan.

Pagi itu, di sekolah, Langit dan Sekar seperti biasa duduk bersama di bangku taman sekolah. Sinar matahari yang hangat menembus dedaunan pohon, menciptakan bayangan yang bergerak lembut di atas kepala mereka. Sekar sedang asyik bercerita tentang sesuatu yang terjadi di kelas sebelumnya, namun perhatian Langit teralihkan oleh tatapan matanya yang cerah. Sekar tampak begitu bersemangat, wajahnya berseri-seri saat ia tertawa kecil menceritakan lelucon yang didengarnya dari teman sekelas.

Namun, Langit hanya bisa tersenyum kecil, berusaha menutupi kegelisahan yang semakin mendalam. Ia tahu, semakin lama ia menyimpan perasaan ini, semakin sulit baginya untuk tetap tenang di dekat Sekar. Setiap kata yang diucapkan Sekar, setiap tawa yang keluar dari bibirnya, hanya membuat Langit semakin tenggelam dalam cintanya.

"Langit, kamu kenapa sih? Kok, kayaknya kamu nggak fokus dari tadi?" tanya Sekar tiba-tiba, memotong lamunannya. Tatapan Sekar yang tajam namun penuh perhatian membuat Langit tersentak. Ia segera memasang senyum yang dipaksakan dan menggeleng pelan.

"Nggak apa-apa, kok, Sekar. Aku cuma lagi mikirin tugas yang banyak aja," jawabnya, berusaha terdengar meyakinkan.

Sekar menatapnya curiga sejenak, namun akhirnya mengangguk dan kembali melanjutkan ceritanya. Tapi Langit tahu bahwa Sekar tidak sepenuhnya percaya. Sekar selalu bisa merasakan jika ada yang tidak beres dengannya. Itulah yang membuat Langit semakin sulit menyembunyikan perasaannya. Setiap kali ia mencoba menyembunyikan sesuatu, Sekar selalu ada di sana, dengan perhatian dan kepeduliannya yang tulus.

Hari-hari berlalu, dan perasaan Langit semakin kuat. Ia tahu, ia tak bisa terus-menerus berbohong kepada dirinya sendiri, atau kepada Sekar. Namun, setiap kali ia mencoba untuk membuka mulut dan mengungkapkan apa yang sebenarnya ia rasakan, ketakutan itu kembali menyerangnya. Bayangan kehilangan Sekar terus menghantuinya, membuatnya terdiam dan memilih untuk menyembunyikan segalanya.

Suatu sore, setelah selesai belajar bersama di rumah Sekar, mereka berjalan pulang bersama menuju rumah Langit. Jalanan sepi, hanya terdengar suara angin yang berbisik lembut di antara pepohonan. Sekar, seperti biasanya, bercerita tentang hal-hal kecil yang menarik perhatiannya. Namun, kali ini Langit benar-benar tidak bisa berkonsentrasi. Pikirannya dipenuhi oleh pikiran tentang apa yang harus ia lakukan dengan perasaannya.

Langit tahu, ia harus segera mengambil keputusan. Namun, ia juga tahu bahwa apapun keputusannya, akan ada konsekuensi yang harus ia tanggung.

Lihat selengkapnya