Langit duduk di kursi yang terletak di sebelah tempat tidur Sekar. Wajahnya masih menyiratkan kekhawatiran, meskipun dokter telah meyakinkan bahwa kondisi Sekar sudah stabil. Matanya terus mengawasi sahabatnya itu, seolah takut jika ia melepaskan pandangan sejenak, Sekar akan kembali jatuh dalam keadaan yang tak terduga.
Sekar yang masih terbaring lemah di tempat tidur, membuka matanya perlahan dan menatap Langit dengan senyum kecil. Meskipun tubuhnya masih lemas, melihat Langit yang tampak begitu khawatir membuat hatinya terasa hangat. Dulu, ia tidak pernah menyangka bahwa Langit yang dulu dingin dan cuek akan menjadi sosok yang begitu peduli terhadapnya.
Langit mendekat, duduk di tepi tempat tidur sambil menggenggam tangan Sekar dengan lembut. "Sekar, bagaimana perasaanmu sekarang? Apa masih pusing? Atau butuh sesuatu?" tanyanya dengan suara penuh kecemasan.
Sekar tersenyum lagi, kali ini sedikit lebih lebar. Wajah Langit yang begitu serius dan khawatir membuatnya ingin tertawa. Bukan karena mengejek, tapi lebih karena ia merasa terharu. Terharu bahwa Langit yang selama ini dikenal sebagai pribadi yang tertutup, kini menunjukkan sisi lembut dan peduli yang tak pernah ia duga.
Sekar menggeleng pelan. "Aku baik-baik saja, Langit. Hanya butuh sedikit istirahat lagi," jawabnya dengan suara lembut.
Melihat senyuman di wajah Sekar, Langit merasa sedikit lega, namun hatinya masih dipenuhi rasa cemas. "Kenapa kamu tersenyum?" tanyanya sambil menatap Sekar penuh tanda tanya.
Sekar hanya tertawa kecil dan menatap Langit dengan tatapan yang penuh kasih. Tanpa berkata apa-apa, ia tiba-tiba memeluk Langit sekuat yang ia bisa. Pelukan itu begitu erat, begitu hangat, seolah-olah Sekar ingin memastikan bahwa Langit merasakan betapa berharganya ia dalam hidupnya.
"Aku beruntung bisa memilikimu, Langit," bisik Sekar di telinga Langit. "Kamu adalah orang yang mewarnai hidupku. Tanpamu, mungkin hidupku akan tetap kelabu."
Mendengar kata-kata itu, hati Langit bergetar. Perasaan yang selama ini ia coba pendam kini kembali menyeruak ke permukaan. Ia merasa tidak mampu menahan air matanya lagi. Seluruh kekhawatiran, kecemasan, dan ketakutannya akhirnya tumpah dalam bentuk air mata. Langit menangis, menangis karena rasa takut yang begitu mendalam akan kehilangan Sekar, seseorang yang sangat berarti baginya.
Sekar, yang masih dalam pelukan Langit, merasakan air mata itu mengalir di bahunya. Ia mengelus punggung Langit dengan lembut, mencoba menenangkannya. "Jangan menangis, Langit. Aku baik-baik saja," ucapnya dengan suara lembut.