Langit duduk di sudut kamarnya dengan pikiran yang masih dipenuhi oleh kejadian kemarin. Wajah Sekar yang lemah namun masih mampu tersenyum hangat terus terbayang di benaknya. Meski dokter telah memastikan kondisi Sekar stabil, kekhawatiran itu masih melekat kuat di hati Langit. Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang lebih mendalam. Sesuatu yang telah ia simpan begitu lama dalam hatinya—perasaan yang lebih dari sekadar persahabatan.
Hari ini, setelah pulang sekolah, Langit memutuskan untuk kembali mengunjungi Sekar di rumah sakit. Ia tahu betul bahwa Sekar sangat menyukai kue stroberi, jadi ia memutuskan untuk membawakan sekotak kue sebagai kejutan kecil. Dengan hati yang masih diliputi kecemasan dan perasaan yang bertabrakan, Langit berjalan menuju rumah sakit dengan harapan bisa menghibur sahabatnya itu.
Namun, di sisi lain kota, Reza sedang bergulat dengan perasaannya sendiri. Setelah menyaksikan kedekatan antara Langit dan Sekar kemarin, hatinya dipenuhi oleh kebingungan dan kecemburuan. Reza sadar bahwa perasaannya terhadap Sekar telah berkembang menjadi lebih dari sekadar teman. Ia merasa terjebak di antara keinginan untuk mengungkapkan perasaannya dan ketakutan akan kehilangan hubungan yang telah terjalin selama ini. Tapi satu hal yang pasti: ia tidak bisa terus-menerus menyimpan perasaan ini. Ia harus mengungkapkannya, dan hari ini ia memutuskan untuk melakukannya.
Setelah pulang sekolah, Reza langsung menuju rumah sakit. Ia merasa gugup, tapi ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk melepaskan beban yang selama ini mengganjal di hatinya. Saat tiba di rumah sakit, Reza langsung menuju ruangan tempat Sekar dirawat. Ia berharap Langit belum datang, sehingga ia bisa berbicara dengan Sekar tanpa gangguan.
Sesampainya di depan ruangan, Reza mengambil napas dalam-dalam sebelum membuka pintu. Ia masuk dengan langkah pelan, mencoba menyembunyikan kegugupannya di balik senyum ramah. Sekar yang sedang berbaring di tempat tidur segera menyambut kedatangannya dengan senyum lembut.
"Reza, kamu datang lagi. Bagaimana sekolah hari ini?" tanya Sekar dengan suara yang masih terdengar lemah.
Reza mengangguk dan mendekat ke tempat tidur. "Sekolah biasa saja. Tapi yang penting sekarang, bagaimana denganmu? Apa kamu sudah merasa lebih baik?"
Sekar tersenyum, meski tubuhnya masih terasa lelah. "Iya, aku sudah merasa lebih baik. Terima kasih, Reza, sudah sering menjengukku."
Mereka berdua terdiam sejenak, hanya saling bertukar pandang. Reza merasa hatinya semakin berat. Di satu sisi, ia merasa senang bisa berada di samping Sekar saat ini, tapi di sisi lain, ia tahu bahwa ada sesuatu yang harus ia ungkapkan—sesuatu yang tidak bisa ia tahan lebih lama lagi.
"Sekar," Reza akhirnya membuka suara, suaranya sedikit bergetar. "Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu. Sesuatu yang sudah lama aku pendam."
Sekar menatap Reza dengan mata yang penuh tanda tanya. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang serius di balik kata-kata sahabatnya itu. "Apa itu, Reza? Kamu bisa bilang apa saja padaku."
Reza menelan ludah, mencoba menenangkan hatinya yang berdegup kencang. "Sekar… aku… aku suka sama kamu. Bukan sebagai teman, tapi lebih dari itu. Aku sudah menyimpan perasaan ini sejak lama, dan aku tidak bisa terus berpura-pura hanya menjadi teman. Aku ingin kamu tahu perasaanku."