Tujuh Hari Untuk Sekar

Baggas Prakhaza
Chapter #16

Pengakuan dan Restu

Langit duduk di samping tempat tidur Sekar dengan wajah yang dipenuhi kebahagiaan. Setelah kejadian yang menegangkan antara Sekar dan Reza, perasaannya kini lebih ringan. Senyuman Sekar yang hangat dan kehadirannya di sini, di samping sahabat terbaiknya, membuat semua rasa cemas dan khawatir yang menghinggapinya selama beberapa hari terakhir menghilang begitu saja.

Di tangan Sekar, potongan kue stroberi terlihat hampir habis, dan mereka berdua tertawa kecil sambil bercanda tentang berbagai hal. Langit menyuapi Sekar dengan canda yang menggelitik perutnya. "Sekar, kamu harus menghabiskan ini. Kalau nggak, aku bakal habisin sendiri, lho!" ucap Langit sambil menggoda.

Sekar tertawa kecil sambil berusaha mengunyah kue di mulutnya. "Iya, iya, sabar dong! Kamu ini, nggak sabaran banget, sih!" balas Sekar dengan nada bercanda.

Mereka berdua tertawa bersama, dan Langit merasa bahagia melihat Sekar bisa tertawa lagi setelah kejadian kemarin. Namun, di balik tawa itu, Langit merasakan detak jantungnya yang semakin cepat. Perasaannya yang selama ini ia pendam, perasaan yang semakin tumbuh setiap kali ia berada di dekat Sekar, kini terasa semakin kuat.

Langit mengambil napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. Sekar yang sedang menikmati kue tidak menyadari bahwa Langit tampak sedikit gelisah. Namun, sebelum ia sempat menanyakan apa yang terjadi, Langit membuka suara.

"Sekar, aku ingin bicara sesuatu," ucap Langit dengan nada yang lebih serius dari sebelumnya.

Sekar menghentikan gerakannya, menatap Langit dengan tatapan penasaran. "Apa yang ingin kamu bicarakan, Langit?" tanyanya lembut.

Langit menelan ludah, merasa gugup. Namun, ia tahu bahwa ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya. "Aku... aku selama ini selalu merasa takut untuk jujur sama kamu. Takut kalau apa yang aku rasakan bisa merusak persahabatan kita. Tapi sekarang, aku nggak bisa menahan perasaan ini lagi."

Sekar tetap diam, menatap Langit dengan penuh perhatian. Ia bisa merasakan bahwa Langit sedang berusaha keras untuk menyampaikan sesuatu yang sangat penting.

Langit melanjutkan, "Sekar... aku nggak tahu kapan tepatnya aku mulai merasakan ini. Mungkin dari cara kamu tersenyum, atau caramu selalu ada di sampingku ketika aku butuh. Tapi yang pasti, aku... aku sayang sama kamu. Bukan hanya sebagai sahabat, tapi lebih dari itu."

Hati Langit berdebar kencang. Ia menatap Sekar dengan mata yang dipenuhi oleh perasaan yang tulus. Perasaan yang telah ia pendam begitu lama, namun kini ia ungkapkan dengan segala keberanian yang ia miliki.

Sekar mendengarkan dengan seksama, namun yang mengejutkan Langit, Sekar tidak terkejut dengan pengakuannya. Sebaliknya, Sekar hanya tersenyum—senyuman yang penuh pengertian dan kehangatan.

Sekar menatap mata Langit yang dipenuhi ketegangan dan cinta, namun ia tidak berkata apa-apa. Ia hanya terus tersenyum, seolah-olah mengerti betapa beratnya bagi Langit untuk mengungkapkan perasaannya.

Langit merasa semakin gelisah. Ia tidak tahu bagaimana harus merespons senyuman Sekar yang begitu penuh makna itu. Akhirnya, ia memberanikan diri untuk bertanya, "Kenapa kamu cuma tersenyum, Sekar? Kenapa kamu nggak jawab apa-apa?"

Sekar masih tetap tersenyum, namun kali ini, ada sesuatu di matanya yang membuat Langit merasa sedikit tenang. Sekar tidak mengatakan sepatah kata pun, namun senyumannya menyampaikan banyak hal yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata.

Sebelum Langit sempat berkata lebih jauh, pintu ruangan tiba-tiba terbuka, dan kedua orang tua Sekar masuk. Langit segera berdiri, kaget dengan kedatangan mereka yang tiba-tiba. Ia tidak menyangka bahwa mereka akan muncul pada saat seperti ini.

Ayah Sekar yang berdiri tegap di depan pintu menatap Langit dengan senyuman di wajahnya. "Jadi, kalian berdua sedang berbicara, ya?" ucapnya dengan nada yang ramah.

Langit merasa jantungnya berdetak semakin cepat. Ia merasa canggung dan gugup berada di depan kedua orang tua Sekar, terutama setelah apa yang baru saja ia katakan kepada putri mereka.

Namun, yang membuat Langit semakin terkejut adalah kata-kata yang keluar dari mulut ayah Sekar. "Kalau Langit menjadi calon menantu kita, Ayah setuju," ucap Ayah Sekar dengan senyum yang semakin lebar. "Bagaimana menurutmu, Bunda?"

Lihat selengkapnya