Tujuh Hari Untuk Sekar

Baggas Prakhaza
Chapter #18

Kepulangan yang Tak Terduga

Langit duduk diam di kursi di ruang tamu, menatap kosong ke luar jendela. Cahaya senja yang redup menyinari wajahnya yang penuh dengan kebimbangan. Ponselnya berdering, memecah keheningan. Dengan lambat, ia meraih ponselnya dan melihat siapa yang menelepon. Nama orang tuanya, Michel dan Arto, tertera di layar. Mereka akhirnya menelepon, mengabarkan bahwa mereka akan pulang ke Indonesia esok hari, hanya untuk satu hari. Langit mendengarkan suara ibunya di ujung telepon, penuh dengan antusiasme, namun ia sendiri merasa hampa.

"Langit, kami akan pulang besok. Akhirnya kita bisa bertemu setelah sekian lama!" kata ibunya dengan suara ceria.

Langit hanya mengangguk pelan, meskipun ibunya tidak bisa melihatnya. "Iya, Bu," jawabnya datar. Tidak ada kegembiraan dalam suaranya, tidak ada rasa haru. Hanya keheningan yang mengisi celah di antara kata-katanya.

Setelah menutup telepon, Langit merasa kosong. Seharusnya, ia merasa senang karena akhirnya orang tuanya akan pulang, meski hanya untuk satu hari. Namun, perasaan itu tidak ada. Yang tersisa hanya kekosongan dan kebingungan.

Keesokan harinya, setelah pulang sekolah, Langit berjalan pelan menuju rumahnya. Di dalam hatinya, ada perasaan berat yang sulit ia jelaskan. Sesampainya di rumah, ia melihat mobil keluarganya terparkir di depan pintu. Ayah dan ibunya sudah menunggu di dalam. Dengan langkah pelan, Langit membuka pintu rumah dan masuk ke dalam.

Di ruang tamu, Michel dan Arto berdiri, tersenyum lebar saat melihat putra mereka. Ibunya segera mendekat dan memeluknya erat. Namun, pelukan itu terasa asing bagi Langit. Ia tidak merasakan kehangatan atau kenyamanan. Sebaliknya, ia merasakan dingin dan jarak yang begitu jauh di antara mereka.

"Langit, kami sangat merindukanmu," kata ibunya sambil terus memeluknya.

Namun, Langit hanya berdiri kaku, tidak membalas pelukan itu. Perlahan, ia melepaskan pelukan ibunya dan tanpa sepatah kata pun, ia berjalan menuju kamarnya. Hatinya terasa beku. Kedua orang tuanya berdiri diam, merasa kecewa dan bingung.

Ayahnya, Arto, melangkah maju, mencoba berbicara dengan Langit. "Langit, kenapa kamu seperti ini? Kami pulang hanya untuk menemui kamu. Kami ingin menghabiskan waktu bersama."

Langit berhenti sejenak di depan pintu kamarnya. Ia merasakan amarah yang selama ini tertahan mulai muncul ke permukaan. Namun, ia tetap diam, tidak mengucapkan apa-apa. Ia hanya membuka pintu kamarnya dan masuk ke dalam, meninggalkan ayah dan ibunya yang masih berdiri di ruang tamu, merasa kecewa.

Lihat selengkapnya