Tujuh Hari Untuk Sekar

Baggas Prakhaza
Chapter #19

Kehancuran dan Kehampaan

Malam itu, Langit terbaring di tempat tidurnya dengan mata terbuka lebar, menatap langit-langit kamar yang gelap. Hatinya terasa kosong, seperti ada lubang besar yang tak bisa diisi oleh apa pun. Pikiran tentang orang tuanya yang telah tiada terus menggerogoti kesadarannya, membuatnya terjaga sepanjang malam. Tidak ada suara yang keluar dari bibirnya, hanya air mata yang perlahan mengalir di wajahnya.

Keesokan paginya, matahari bersinar di balik jendela, tapi Langit tidak merasakan kehangatannya. Ponselnya berdering beberapa kali, tetapi ia tidak menghiraukannya. Ia tidak pergi ke sekolah hari itu. Pikiran untuk bertemu dengan orang lain, bahkan Sekar, terlalu berat baginya saat ini. Ia merasa seolah seluruh dunianya telah runtuh dalam sekejap.

Di sekolah, Sekar merasa gelisah. Tidak biasanya Langit tidak datang ke sekolah tanpa memberi kabar. Ia mencoba menghubungi ponsel Langit beberapa kali, tetapi tidak ada jawaban. Kegelisahan semakin merasuk ke dalam hatinya, membuatnya sulit berkonsentrasi sepanjang hari. Rasa khawatir tentang apa yang terjadi pada Langit menghantui pikirannya.

Sementara itu, Langit berjalan pelan di dalam rumahnya yang sepi. Kakinya membawa dirinya ke kamar orang tuanya yang sudah lama tidak ia masuki. Pintu kamar itu terasa berat saat ia dorong, seolah-olah menghalangi dirinya untuk masuk ke dalam ruang yang penuh kenangan. Kamar itu gelap, sama seperti perasaan Langit saat ini.

Dengan tangan gemetar, Langit menyalakan lampu di kamar tersebut. Cahaya lampu menerangi ruangan, memperlihatkan semua benda yang begitu akrab namun terasa asing baginya. Pandangannya tertuju pada dinding kamar, di mana terdapat banyak foto-foto masa kecilnya yang tertempel dengan rapi. Ia melihat foto-foto itu dengan mata yang berkaca-kaca. Di salah satu foto, Langit yang berusia 5 tahun terlihat tersenyum bahagia di antara kedua orang tuanya. Senyuman dan kebahagiaan yang sudah lama hilang dari hidupnya.

Langit mendekati dinding itu, mengulurkan tangan dan menyentuh salah satu foto. "Kenapa semuanya harus berubah?" bisiknya dengan suara yang nyaris tidak terdengar.

Lihat selengkapnya