Tujuh Hari Untuk Sekar

Baggas Prakhaza
Chapter #20

Penyesalan Selalu Datang Diakhir

Keesokan harinya, cuaca mendung seakan ikut merasakan kesedihan yang menyelimuti Langit. Hari ini adalah hari pemakaman kedua orang tua Langit. Di antara suara rintik hujan yang lembut, Langit berdiri dengan tubuh yang tampak lelah di tepi liang lahat, menatap kosong ke arah peti mati yang perlahan-lahan diturunkan ke dalam tanah. Setiap gerakan di pemakaman itu terasa seperti mimpi buruk yang tidak bisa dihindari.

Di sisi lain, Sekar, bersama kedua orang tuanya, mengawasi Langit dengan penuh perhatian. Mereka semua merasakan beban yang begitu berat di hati mereka. Langit, yang biasanya terlihat tegar dan tenang, kini tampak hancur berkeping-keping di hadapan mereka. Mata Langit yang sembab dan wajahnya yang pucat memperlihatkan betapa dalam luka hatinya.

Ketika ayah dan ibu Langit terkubur oleh tanah yang dilemparkan satu per satu oleh para pelayat, tubuh Langit mulai goyah. Kakinya terasa lemah, seolah tidak sanggup lagi menahan berat tubuhnya. Dengan tangan gemetar, ia berusaha menahan tangis, tetapi air mata itu tetap mengalir deras, membasahi pipinya. Kenangan tentang kedua orang tuanya berkelebat di pikirannya, satu demi satu. Mereka dulu begitu dekat, namun perlahan-lahan menjauh karena waktu dan jarak. Dan sekarang, mereka sudah pergi untuk selamanya.

Sekar yang berdiri di sampingnya langsung sigap memeluk Langit, mencoba menopangnya agar tidak jatuh. Pelukan Sekar begitu erat, penuh kasih sayang dan kehangatan. Ayah dan bunda Sekar juga mendekat, mereka merangkul Langit, memberikan dukungan yang ia butuhkan di saat-saat sulit seperti ini. Meskipun mereka bukan keluarga kandung, mereka merasakan tanggung jawab untuk menjaga Langit.

"Aku... aku tidak pernah... bilang kalau aku mencintai mereka..." bisik Langit dengan suara yang nyaris tidak terdengar. Tangisannya semakin kuat, dan tubuhnya gemetar hebat dalam pelukan Sekar. Sekar hanya bisa menatap Langit dengan mata berkaca-kaca, tak sanggup berkata apa-apa. Kata-kata apapun sepertinya tidak akan mampu meredakan rasa sakit yang sedang dirasakan Langit.

Langit terus menangis, melepaskan semua rasa bersalah, penyesalan, dan kesedihan yang telah lama ia pendam. Ayah dan bunda Sekar menepuk-nepuk bahu Langit dengan lembut, mencoba menenangkan hati yang hancur itu. Mereka tidak bisa berkata apa-apa, hanya memberikan kehangatan dan dukungan dalam diam.

Sore itu, setelah pemakaman selesai, Langit, Sekar, dan kedua orang tua Sekar kembali ke rumah. Langit berjalan pelan, seolah langkah-langkahnya tidak lagi memiliki tujuan. Sekar ingin tetap di sisi Langit, tapi ibunya menghentikannya sebelum mereka masuk ke dalam rumah.

"Biarkan dia sendiri, Sekar," ujar Bunda Sekar lembut. "Dia butuh waktu untuk merenung dan memproses semua ini."

Meskipun hatinya ingin tetap berada di samping Langit, Sekar tahu bahwa ibunya benar. Ada beberapa hal yang hanya bisa dilalui sendiri. Sekar mengangguk pelan dan melihat Langit masuk ke dalam rumahnya sendirian.

Lihat selengkapnya