Tujuh Hari Untuk Sekar

Baggas Prakhaza
Chapter #21

Meniti Jalan yang Sepi

Satu tahun telah berlalu sejak pemakaman kedua orang tua Langit, namun bayangan duka masih menyelimuti hidupnya. Setiap hari terasa seperti perjalanan melelahkan yang tidak ada ujungnya. Rasa kehilangan yang mendalam telah membekukan hatinya, menutup diri dari dunia luar. Langit merasa seolah-olah ia berjalan dalam kegelapan tanpa arah, dan ia memilih untuk mengisolasi dirinya dari semua orang, termasuk Sekar.

Sekar, yang selalu ada untuk Langit, kini hanya bisa menyaksikan perubahan drastis dalam diri Langit dengan hati yang hancur. Sekar memahami bahwa Langit butuh waktu untuk menyembuhkan luka hatinya, tapi melihatnya setiap hari dengan wajah yang datar dan penuh kesedihan membuat Sekar tidak tenang. Namun, Sekar memutuskan untuk menjaga jarak. Ia tidak ingin menambah beban Langit dengan keberadaannya yang mungkin saja tidak diinginkan.

Selama berbulan-bulan, Langit menutup diri di dalam kamarnya, mengabaikan semua panggilan, pesan, dan bahkan kunjungan dari teman-temannya. Ia memilih untuk hidup dalam kesendirian, seolah dunia luar tidak lagi memiliki arti baginya. Hari-harinya diisi dengan rutinitas yang monoton, seolah-olah ia hanya menjalani hidup karena tidak ada pilihan lain.

Sekar yang khawatir, setiap hari mencoba untuk mendekati Langit. Ia sering kali mengirim pesan atau menunggu di depan rumah Langit, berharap Langit akan membuka pintu dan mengizinkannya masuk. Tapi Langit selalu menolak, bahkan tatapan mereka pun jarang bertemu. Sekar bisa melihat bahwa Langit yang dulu ceria dan penuh semangat telah menghilang, digantikan oleh seseorang yang asing baginya.

Sekar tahu bahwa Langit masih sangat terpukul oleh kehilangan orang tuanya, namun Sekar tidak bisa tinggal diam dan hanya melihatnya seperti itu. Setiap kali ia melihat Langit yang murung dan dingin, hatinya terasa seperti ditusuk-tusuk. Sekar merasa frustrasi, tetapi ia tidak mau menyerah. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan terus berada di samping Langit, tidak peduli seberapa jauh Langit mencoba menjauh.

Waktu terus berjalan, dan tanpa terasa satu tahun pun berlalu. Namun, keadaan Langit tetap sama. Ia masih terperangkap dalam kesedihannya, tidak mampu untuk melanjutkan hidup. Sekar merasa semakin khawatir. Ia sadar bahwa jika Langit terus-terusan seperti ini, ia akan kehilangan dirinya sendiri.

Di sisi lain, Langit merasa bahwa dunianya sudah runtuh. Meski satu tahun telah berlalu, luka hatinya masih segar seperti hari pertama ia kehilangan orang tuanya. Setiap kenangan tentang mereka membuatnya merasa semakin hancur. Ia merasa bersalah karena tidak pernah menghabiskan waktu bersama mereka saat mereka masih hidup, dan penyesalan itu terus menggerogoti dirinya. Ia merasa bahwa tidak ada yang bisa mengerti perasaannya, tidak ada yang bisa mengerti betapa kesepiannya ia sekarang.

Hari kelulusan SMA akhirnya tiba. Semua siswa dan siswi merayakan momen ini dengan penuh sukacita. Sekolah dihiasi dengan balon dan pita warna-warni, para siswa mengenakan pakaian terbaik mereka, dan senyuman serta tawa terdengar di seluruh penjuru sekolah. Namun, di tengah keramaian itu, ada satu sosok yang terlihat berbeda. Langit, dengan tatapan kosong, hanya memandangi surat kelulusannya dengan perasaan yang datar. Bagi Langit, kelulusan ini tidak memiliki arti apa-apa.

Lihat selengkapnya