Setahun setelah kelulusan SMA, Langit kembali ke taman yang menjadi tempat pelarian emosinya selama masa-masa tergelap dalam hidupnya. Taman itu selalu sepi, dengan bangku-bangku kayu yang menghadap ke danau kecil yang airnya tenang. Tempat itu seolah-olah memeluk kesedihan dan duka Langit, tetapi sekarang, taman itu juga menjadi saksi dari kebangkitan semangatnya yang telah lama hilang.
Sekar duduk di bangku yang sama dengan Langit, tetapi kali ini suasananya berbeda. Mereka tidak lagi tenggelam dalam kesunyian yang menyakitkan, melainkan dalam keheningan yang penuh pengertian dan kenyamanan. Langit, yang sebelumnya hanyut dalam lautan kesedihan, kini mulai menunjukkan tanda-tanda kebahagiaan yang dulu pernah ia miliki. Di taman itu, Langit perlahan-lahan mulai belajar tersenyum kembali.
Sekar yang duduk di sampingnya, memperhatikan setiap gerakan kecil Langit. Tatapan matanya yang selama ini redup, kini mulai bersinar dengan cahaya yang berbeda. Ia melihat senyum tipis yang perlahan-lahan terukir di wajah Langit, sebuah senyum yang selama ini hilang. Mata Sekar tiba-tiba berkaca-kaca. Ia merasakan gelombang emosi yang kuat mengalir melalui dirinya, menyadari bahwa Langit akhirnya mulai menemukan jalan keluar dari kegelapan yang menjeratnya selama ini.
Air mata Sekar mulai mengalir tanpa ia sadari. Ia mencoba menahannya, tetapi perasaan lega dan bahagia yang mendalam membuatnya tak kuasa menahan tangis. Dengan suara yang sedikit bergetar, Sekar berkata, "Aku sangat merindukanmu, Langit."
Langit menoleh, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia menatap mata Sekar dengan penuh kesadaran dan kasih sayang. Mata Langit juga mulai berkaca-kaca. Ia merasa terharu dengan ketulusan Sekar, yang selama ini selalu ada untuknya, bahkan saat ia sendiri sudah hampir menyerah pada hidupnya. Langit merasa bersalah karena selama ini ia menutup diri dari Sekar, mengabaikan kehadiran dan perhatiannya. Dengan suara yang penuh penyesalan, Langit berbisik, "Maafkan aku, Sekar."
Sekar menggelengkan kepala, air matanya terus mengalir. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Langit. Aku hanya ingin kamu kembali, itu saja."
Langit tersenyum, senyum yang lebih lebar dari sebelumnya. Ia merasa bahwa beban berat yang selama ini menghimpit hatinya mulai terangkat. Perasaan damai yang sudah lama ia rindukan kini mulai kembali mengisi hatinya. Ia merasa bersyukur memiliki seseorang seperti Sekar di hidupnya, seseorang yang tidak pernah menyerah padanya, meskipun ia sudah hampir menyerah pada dirinya sendiri.