Setelah kunjungan penuh emosi di makam orang tuanya, Langit dan Sekar meninggalkan tempat itu dengan hati yang lebih tenang. Sekar menyarankan mereka untuk langsung menuju rumahnya, tanpa memberi tahu Langit apa yang telah dipersiapkan. Meskipun Langit penasaran, ia mengikuti Sekar tanpa banyak bertanya, mengendarai motor dengan kecepatan sedang. Hatinya masih dipenuhi dengan kenangan dan rasa syukur atas keberadaan Sekar dalam hidupnya.
Sesampainya di rumah Sekar, Langit memarkir motornya dengan hati-hati. Sekar turun lebih dulu dan membimbing Langit menuju pintu depan. Dengan senyum yang mengandung rahasia, Sekar membuka pintu dan mempersilakan Langit masuk. Langit melepas sepatunya dan melangkah masuk ke dalam rumah yang sudah tidak asing baginya. Namun, kali ini, ada sesuatu yang berbeda.
Di ruang tamu, Ayah dan Bunda Sekar sudah berdiri menunggu mereka. Begitu Langit masuk, keduanya menyambutnya dengan senyuman hangat yang langsung membuat hatinya bergetar. "Selamat atas kelulusannya, Langit," ucap Bunda Sekar dengan penuh kehangatan. Langit tertegun sejenak, matanya berkaca-kaca. Ia mengangguk sambil mengucapkan terima kasih dengan suara yang sedikit gemetar. Tangan Langit pun mulai bergetar, menandakan betapa dalam emosi yang sedang ia rasakan.
Sekar, yang melihat Langit mulai diliputi emosi, langsung meraih tangannya. Genggaman tangan Sekar yang erat memberikan sedikit ketenangan bagi Langit, tetapi hatinya tetap bergejolak. Ayah Sekar, dengan suara tenang namun penuh kehangatan, berkata, "Mulai sekarang, jangan panggil kami om dan tante lagi, Langit. Kami ini ayah dan bundamu juga." Kata-kata itu menggema dalam hati Langit, membuat dadanya terasa semakin berat oleh emosi.
Langit tak mampu lagi menahan air matanya. Dengan perlahan, ia menundukkan kepalanya, dan butiran air mata mulai mengalir deras dari matanya. Setiap kata yang diucapkan oleh Ayah Sekar seakan mengguncang dinding pertahanan yang selama ini ia bangun. "Kami ada di sini untukmu, Langit. Kamu tidak sendirian," ucap Ayah Sekar dengan lembut, seolah memahami betapa rapuhnya hati Langit saat ini.
Mendengar kata-kata itu, Langit merasakan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata. Dadanya terasa sesak, seolah semua emosi yang selama ini ia pendam keluar bersamaan. Tangannya mulai meremas dadanya yang terasa berat, dan ia memejamkan mata, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Namun, rasa haru itu terlalu kuat. Ketika ia membuka matanya lagi, Langit terkejut melihat sesuatu yang membuatnya tak percaya.