Malam itu, setelah menikmati momen penuh kebahagiaan di taman, Langit dan Sekar memutuskan untuk pulang. Mereka berjalan bersama di bawah langit malam yang dihiasi bintang-bintang, berbicara ringan tentang masa depan dan mimpi-mimpi yang ingin mereka capai bersama. Namun, kebahagiaan yang meliputi malam itu tiba-tiba berubah menjadi kekhawatiran yang mendalam.
Saat mereka hampir sampai di depan rumah Sekar, langkah Sekar tiba-tiba terhenti. Langit, yang berjalan di sampingnya, langsung menyadari perubahan itu. Ia menoleh ke arah Sekar, dan melihat gadis itu menadahkan tangan ke depan wajahnya. Ada sesuatu yang membuat Langit tercengang—darah. Tetesan darah merah pekat mengalir dari hidung Sekar dan jatuh ke telapak tangannya.
"Sekar, hidung kamu berdarah!" seru Langit panik, nada suaranya berubah dari ceria menjadi khawatir. Ia segera meraih lengan Sekar, mencoba menahannya agar tidak terjatuh. Wajah Sekar tampak pucat, dan ia terlihat lelah.
"Aku... aku tidak apa-apa," jawab Sekar dengan suara yang bergetar. Namun, tubuhnya tidak bisa menipu. Dia terlihat lemah dan gemetar. Langit segera memutuskan untuk tidak berlama-lama di luar. Dengan cepat, ia memapah Sekar ke rumahnya.
Sesampainya di rumah, Langit segera mengetuk pintu dengan keras. Pintu terbuka, dan kedua orang tua Sekar, Ayah dan Bunda, tampak terkejut melihat kondisi putri mereka. Tanpa banyak bicara, mereka segera membantu Langit membawa Sekar masuk ke dalam rumah dan menuntunnya ke sofa. Bunda Sekar langsung menuju lemari obat, mencari sesuatu yang bisa membantu putrinya, sementara Ayah Sekar tetap di samping Sekar, menenangkan gadis itu.
Langit, yang masih berdiri di dekat pintu, tampak kebingungan. Jantungnya berdegup kencang, dan pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Apa yang terjadi pada Sekar? Kenapa tiba-tiba dia berdarah? Seharusnya ini hanya mimisan biasa, tapi kenapa Sekar terlihat begitu lemah?
Langit ingin menanyakan sesuatu, tapi bibirnya terasa kaku. Dia tidak ingin memperburuk suasana. Dia hanya bisa diam, berdiri di sana dengan kekhawatiran yang semakin besar.
Setelah beberapa saat, Bunda Sekar kembali dengan obat dan beberapa tisu. Dia dengan lembut membersihkan darah yang masih tersisa di wajah Sekar, lalu memberinya obat. Sekar meminum obat itu dengan tangan gemetar, tapi ia tetap berusaha tersenyum untuk menenangkan Langit yang masih terlihat sangat khawatir.