Pagi itu, udara terasa begitu berbeda. Sekar bangun dengan perasaan tidak enak yang menyelimuti dirinya. Meskipun tubuhnya terlihat sehat dari luar, Sekar tahu ada yang salah di dalam dirinya. Gejala-gejala aneh yang selama ini ia rasakan semakin intens. Pusing yang tak tertahankan, pandangan kabur, dan seringnya mimisan membuatnya cemas. Setelah beberapa hari berusaha menutupi kekhawatirannya dari orang-orang terdekat, terutama Langit, Sekar akhirnya memutuskan untuk pergi ke dokter. Ia tahu, sudah saatnya menghadapi kenyataan.
Sekar tidak pergi sendiri. Ia ditemani oleh kedua orang tuanya yang juga merasakan kekhawatiran yang sama. Mereka mencoba untuk tetap tenang dan memberikan semangat kepada putri mereka, tetapi hati mereka berdebar tak karuan. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, tak ada yang berbicara. Hanya ada suara mesin mobil yang menderu pelan, seakan mencerminkan suasana hati mereka yang berat.
Setibanya di rumah sakit, Sekar langsung dipersilakan untuk masuk ke ruang pemeriksaan. Dokter yang menanganinya adalah seorang pria paruh baya yang telah berpengalaman dalam menghadapi berbagai macam kasus. Namun, kali ini, ia tampak lebih serius dari biasanya. Setelah melakukan serangkaian tes dan pemeriksaan, dokter tersebut akhirnya meminta Sekar dan orang tuanya untuk duduk di ruang konsultasi.
Ruangan itu sunyi. Hanya ada suara detak jarum jam yang terasa semakin lambat dan mencekam. Dokter memandang Sekar dan orang tuanya dengan raut wajah yang penuh simpati. Ia tahu bahwa berita yang akan disampaikannya bukanlah sesuatu yang mudah diterima.
"Baiklah, Sekar, Pak, Bu," kata dokter dengan nada tenang namun serius. "Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, kami menemukan bahwa Sekar mengidap kanker otak. Dan berdasarkan hasil tes, penyakit ini sudah memasuki tahap yang sangat lanjut."
Mendengar kata "kanker otak," dunia Sekar seakan runtuh. Semua suara di sekitarnya tiba-tiba menghilang, dan yang tersisa hanyalah kekosongan yang menyakitkan. Ia hanya bisa memandang dokter dengan tatapan kosong, tidak tahu harus bagaimana menanggapi berita tersebut. Kedua orang tua Sekar pun terkejut, wajah mereka langsung pucat, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.
Dokter melanjutkan, "Saya tahu ini sangat sulit untuk diterima. Tetapi, saya harus memberitahu Anda semua dengan jujur bahwa kondisi ini sudah sangat parah. Berdasarkan hasil evaluasi kami, waktu yang tersisa untuk Sekar kemungkinan besar hanya sekitar tujuh hari."
Tujuh hari. Hanya tujuh hari. Sekar merasakan tubuhnya mulai lemas. Ia merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tak berujung. Tujuh hari bukanlah waktu yang cukup untuk melakukan semua hal yang ingin ia lakukan dalam hidupnya. Semua rencana, impian, dan harapannya seketika hancur berkeping-keping. Bagaimana mungkin hidupnya yang selama ini terasa normal tiba-tiba berakhir dalam hitungan hari?
Ibunda Sekar langsung menangis mendengar kabar itu. Ia tak mampu menahan air mata yang terus mengalir deras. Ayah Sekar, meskipun berusaha tegar, tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Ia meremas tangan istrinya, mencoba memberikan kekuatan, meskipun hatinya juga hancur. Keduanya merasakan penderitaan yang mendalam melihat putri mereka, yang selama ini mereka cintai dan lindungi, harus menghadapi kenyataan yang begitu menyakitkan.
Sekar hanya bisa duduk terdiam. Rasanya sulit untuk bernapas, seakan udara di ruangan itu tiba-tiba menghilang. Kepalanya berputar, dan pikirannya penuh dengan berbagai pertanyaan yang tak terjawab. Mengapa ini terjadi padanya? Mengapa hidupnya harus berakhir begitu cepat? Bagaimana ia harus memberi tahu Langit, seseorang yang sangat ia cintai?
Dokter memberikan waktu bagi mereka untuk mencerna kabar ini. Ia memahami bahwa berita seperti ini tidak mudah diterima oleh siapa pun. Setelah beberapa saat, ia melanjutkan penjelasannya tentang langkah-langkah yang bisa diambil ke depannya.
"Kami bisa memberikan perawatan paliatif untuk membantu mengurangi rasa sakit dan membuat Sekar lebih nyaman dalam beberapa hari ke depan," kata dokter dengan penuh perhatian. "Namun, saya harus jujur bahwa secara medis, tidak ada banyak yang bisa kita lakukan pada tahap ini. Fokus kami adalah memberikan kualitas hidup yang sebaik mungkin selama waktu yang tersisa."