Setelah menerima kabar yang menyayat hati dari dokter, Sekar duduk di ruang tunggu rumah sakit dengan pikiran berkecamuk. Kabar bahwa hidupnya hanya tersisa tujuh hari karena penyakit kanker otak yang sudah terlalu parah membuat dunia di sekitarnya terasa hampa. Namun, di balik kesedihan dan ketakutan itu, ada satu hal yang masih menguatkan dirinya: Langit. Cinta Langit memberinya kekuatan untuk menghadapi kenyataan yang pahit ini.
Sekar menatap kosong ke arah jendela, melihat dunia luar yang tetap bergerak seperti biasa. Orang-orang berlalu lalang, langit cerah, namun hatinya terasa penuh dengan kekhawatiran. Di sisi lain, ia tidak ingin membuat kekasihnya, Langit, terus-terusan bersedih. Ada sebuah keinginan kuat di dalam dirinya untuk menciptakan kenangan indah di sisa waktu yang ia miliki, kenangan yang akan menguatkan Langit saat dia sudah tiada.
Dengan hati yang mantap, Sekar memutuskan untuk berbicara kepada orang tuanya. Ia tahu ini bukan keputusan yang mudah bagi mereka, tetapi ia tidak ingin menghabiskan hari-hari terakhirnya di rumah sakit yang penuh dengan rasa sakit dan duka. Ia ingin pergi, menjalani sisa hidupnya dengan kebahagiaan, meskipun hanya untuk sekejap.
"Ibu, Ayah," Sekar memanggil kedua orang tuanya yang duduk di dekatnya, wajah mereka penuh kekhawatiran dan air mata yang mereka tahan. "Aku tidak ingin berada di rumah sakit ini. Aku ingin menghabiskan waktuku di luar, bersama Langit. Aku ingin membuat kenangan indah bersamanya, bukan kenangan tentang tempat yang penuh dengan kesedihan seperti ini."
Ibu Sekar, yang duduk di sebelahnya, meremas tangan putrinya dengan lembut. "Sekar... ini sangat berat untuk kami. Tapi kalau itu yang kamu inginkan, ibu akan mendukungmu. Kami hanya ingin kamu bahagia, sayang."
Ayahnya, meskipun wajahnya terlihat tegar, tidak bisa menyembunyikan air mata yang mulai menggenang di matanya. Ia mengangguk setuju dengan keputusan putrinya, meskipun hatinya terasa hancur. "Kami hanya ingin kamu menjalani hari-hari terakhir ini dengan penuh kebahagiaan, Nak. Jika bersama Langit adalah keinginanmu, kami akan mengizinkannya."
Sekar tersenyum lembut, meskipun ada air mata yang mengalir di pipinya. "Terima kasih, Ayah, Ibu. Aku hanya ingin membuat kenangan indah untuk Langit, supaya dia selalu bisa mengingatku dengan senyuman, bukan dengan kesedihan."
Langit, yang sejak tadi berdiri di dekat pintu, mendengar percakapan itu dengan hati yang sangat berat. Dia merasa dadanya sesak, seakan-akan semua ini adalah mimpi buruk yang tidak bisa dia hindari. Mendengar keputusan Sekar membuatnya merasa lebih terguncang, tetapi dia tahu ini adalah permintaan terakhir dari orang yang paling ia cintai. Dan jika itu yang diinginkan Sekar, dia akan melakukan apa pun untuk memenuhinya.
Setelah beberapa saat, Langit menghampiri Sekar dan orang tuanya. Ia berdiri di hadapan mereka, menatap mata Sekar dengan tatapan penuh cinta dan kesedihan. "Jika itu yang kamu inginkan, Sekar, aku akan selalu ada di sisimu. Kita akan melewati hari-hari ini bersama, dan aku akan memastikan kamu bahagia di setiap saat."