Tujuh Hari Untuk Sekar

Baggas Prakhaza
Chapter #29

Menelusuri Kenangan yang Tersisa

Hari kedua dari tujuh hari terakhir yang dimiliki Sekar dimulai dengan sinar matahari yang hangat membasahi bumi. Meski kenyataan yang dihadapi begitu pahit, hari itu Sekar dan Langit bertekad untuk menciptakan lebih banyak kenangan manis bersama. Mereka tidak ingin menghabiskan waktu dengan kesedihan atau ketakutan; mereka ingin menghidupkan kembali momen-momen bahagia yang pernah mereka lewati, dan mengenang masa-masa indah yang tak terlupakan.

Pagi itu, Sekar mengusulkan sesuatu yang sangat istimewa. "Langit, bagaimana kalau kita pergi mengunjungi tempat-tempat masa kecil kita? Aku ingin mengenang lagi semua kebahagiaan yang pernah kita alami," katanya dengan senyuman di wajahnya, meskipun ada sedikit kelemahan dalam suaranya.

Langit mengangguk setuju, meski hatinya masih dipenuhi kekhawatiran. Ia tahu bahwa Sekar sedang berjuang melawan rasa sakit yang besar, tetapi keberanian dan semangatnya untuk tetap tersenyum membuat Langit tidak ingin mengecewakannya. Bagaimanapun juga, mereka hanya punya waktu yang sangat terbatas, dan Langit bertekad untuk membuat setiap detik berharga.

Tujuan pertama mereka adalah taman bermain yang dulu sering mereka kunjungi saat kecil. Tempat itu adalah saksi dari begitu banyak tawa, canda, dan kenangan indah yang pernah mereka lalui. Saat tiba di taman, Sekar memandang sekeliling dengan mata berbinar. Tempat itu belum banyak berubah—ayunan, perosotan, dan pepohonan besar yang menaungi taman itu masih berdiri kokoh, seolah menunggu mereka kembali.

"Kamu ingat di sini, Langit?" tanya Sekar, sambil mengayunkan kakinya pelan di atas ayunan kayu yang sudah mulai usang.

Langit duduk di ayunan di sebelahnya dan tersenyum kecil. "Tentu saja aku ingat. Kamu selalu suka naik ayunan, dan aku ingat aku selalu mendorongmu dari belakang. Kamu pernah terjatuh sekali, dan aku panik setengah mati."

Sekar tertawa kecil, suaranya lembut namun tetap penuh kegembiraan. "Iya, aku ingat! Kamu begitu panik sampai kamu berlari ke rumah untuk memanggil ibuku, padahal aku cuma terjatuh sedikit."

Langit tertawa mengingat kejadian itu. "Aku pikir kamu terluka parah. Kamu memang selalu lebih kuat dari yang aku bayangkan."

Mereka duduk di sana, menikmati suasana pagi yang tenang, dengan suara anak-anak yang bermain di kejauhan. Sekar memejamkan mata, membiarkan angin sepoi-sepoi membawa kenangan indah masa lalu kembali menghampirinya. Di tengah rasa sakit yang ia rasakan, momen ini memberikan kelegaan yang luar biasa. Ia merasa seperti kembali menjadi anak kecil yang bebas, tanpa beban, tanpa kekhawatiran.

"Langit, hidup kita dulu begitu sederhana, ya?" kata Sekar perlahan, membuka matanya dan menatap langit yang cerah. "Aku merindukan masa-masa itu. Masa di mana kita tidak perlu memikirkan apa pun selain bermain dan tertawa."

Langit hanya bisa menatap Sekar dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia ingin mengabadikan momen-momen indah ini, tetapi di sisi lain, kenyataan tentang penyakit Sekar menghantui pikirannya. Namun, ia berusaha keras untuk tidak memikirkan hal itu. Hari ini adalah tentang kebahagiaan, bukan kesedihan.

Lihat selengkapnya