Matahari mulai merangkak turun saat Langit dan Sekar bersiap untuk hari keempat yang akan mereka habiskan bersama. Hari ini, Sekar menginginkan sesuatu yang lebih intim dan bermakna—makan malam romantis di tempat favoritnya. Setelah semua momen-momen gembira yang mereka lalui bersama, Sekar ingin menutup harinya dengan kenangan yang indah, di mana mereka berdua bisa duduk berdua sambil berbicara tentang cinta mereka.
Langit menatap Sekar yang terlihat sangat cantik malam itu, mengenakan gaun berwarna lembut yang membuat wajahnya bersinar meskipun kesehatannya terus menurun. Sekar tetap tersenyum dan memancarkan semangat, berusaha menjaga hatinya tetap ringan meski penyakit yang ia derita perlahan-lahan mengambil alih tubuhnya. Namun, malam itu bukan tentang rasa sakit atau penderitaan. Bagi mereka, malam itu adalah tentang cinta dan kebahagiaan yang tak ternilai.
Langit memegang tangan Sekar erat saat mereka berjalan menuju restoran. "Apakah kamu yakin tidak apa-apa kita pergi keluar malam ini?" Langit bertanya dengan nada lembut, penuh perhatian.
Sekar tersenyum, mengangguk pelan. "Tentu saja, Langit. Aku merasa lebih baik hari ini. Aku ingin menikmati malam ini bersamamu. Lagi pula, aku sudah lama merencanakan ini."
Restoran yang mereka pilih adalah tempat yang penuh kenangan bagi Sekar, sebuah tempat kecil yang nyaman dengan pemandangan kota yang indah dari jendelanya. Restoran itu dihiasi dengan lampu-lampu temaram yang memberikan kesan hangat dan intim. Langit mengantar Sekar duduk, kemudian memesan makanan favorit mereka berdua.
Saat menunggu hidangan datang, Langit merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya. "Bagaimana kalau kita mengambil beberapa foto? Aku ingin mengabadikan momen ini."
Sekar tersenyum dan mengangguk setuju. "Ayo, Langit! Kita harus mengabadikan semua momen indah ini."
Mereka pun mulai berfoto bersama, dengan berbagai ekspresi lucu dan senyum bahagia. Setiap foto yang diambil terasa begitu berarti, seolah-olah mereka sedang mengukir kenangan abadi yang tidak akan pernah hilang, meskipun waktu yang tersisa semakin sedikit. Langit dan Sekar tertawa bersama saat mereka melihat hasil-hasil foto itu. Bahkan di tengah kesulitan, kebahagiaan mereka terpancar jelas melalui setiap senyuman.
Ketika makanan mereka tiba, Langit menyuapi Sekar dengan lembut, memberikan sentuhan penuh cinta di setiap suapan. Sekar tertawa kecil, merasa dimanja oleh Langit. "Kamu benar-benar memanjakanku malam ini," kata Sekar dengan tawa lembut.
Langit tersenyum, menatap mata Sekar dengan penuh kasih. "Aku hanya ingin membuatmu bahagia, Sekar. Kamu layak mendapatkan semua ini."
Mereka mulai berbincang tentang masa-masa indah yang mereka lewati, salah satunya saat pertama kali mereka bertemu. Sekar menceritakan kembali dengan semangat bagaimana Langit pada awalnya begitu dingin dan sulit didekati.
"Aku masih ingat betapa cueknya kamu dulu, Langit," Sekar mulai bercerita dengan senyum di wajahnya. "Kamu hampir tidak pernah tersenyum, selalu tampak sibuk dengan duniamu sendiri. Aku ingat pertama kali aku berusaha mengajakmu bicara, dan kamu hanya menatapku dingin."
Langit tertawa kecil, mengingat masa itu. "Ya, aku memang sangat tertutup waktu itu. Aku tidak tahu bagaimana harus membuka diri kepada orang lain."
Sekar mengangguk sambil tersenyum lebar. "Tapi lihat sekarang! Kamu bahkan tidak bisa berhenti tersenyum saat bersamaku."
Langit tertawa lebih keras kali ini, merasa terhibur dengan kenangan itu. "Ya, kamu benar. Kamu berhasil mengubahku, Sekar. Entah bagaimana, kamu membuatku merasa nyaman dan akhirnya aku bisa menjadi diriku sendiri."
Sekar menatap Langit dengan penuh kasih. "Itu karena kamu memang layak untuk bahagia, Langit. Dan aku merasa beruntung bisa menjadi bagian dari hidupmu."