Tujuh Hari Untuk Sekar

Baggas Prakhaza
Chapter #33

Di Antara Harapan dan Keputusasaan

Malam itu terasa begitu sunyi di rumah sakit, meskipun banyak suara mesin yang berdengung dan orang-orang yang berlalu lalang. Langit duduk di samping ranjang Sekar, menggenggam erat tangan kekasihnya yang kini terbaring lemah. Mata Sekar masih terbuka, memancarkan kilauan cahaya lembut yang menyiratkan kekuatan meski tubuhnya hampir tak lagi bertenaga. Senyumnya, meskipun tipis dan rapuh, tetap terpancar setiap kali melihat Langit. Seolah-olah senyuman itu adalah satu-satunya cara Sekar untuk memberikan kekuatan pada semua orang di sekitarnya, terutama Langit.

"Langit..." bisik Sekar dengan suara yang hampir tidak terdengar. Langit menatap Sekar, berusaha menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya.

"Ya, sayang?" jawab Langit dengan lembut, berusaha menenangkan perasaannya sendiri.

Sekar mengerahkan seluruh tenaganya untuk tersenyum. "Terima kasih... sudah selalu ada di sini."

Langit menggenggam tangan Sekar lebih erat, seolah-olah ia ingin memeluknya lebih dekat melalui genggaman itu. "Aku akan selalu ada di sini, Sekar. Aku tidak akan pernah pergi."

Namun, di balik kata-kata yang diucapkannya, Langit merasakan ketakutan yang terus menghantui. Ia tahu betapa sedikitnya waktu yang tersisa bagi Sekar. Malam ini mungkin adalah malam-malam terakhir mereka bersama, dan Langit tidak bisa menerima kenyataan itu. Tidak sekarang. Tidak saat cintanya untuk Sekar belum tuntas diungkapkan.

Di luar ruangan, Langit keluar untuk berbicara dengan dokter. Hatinya berkecamuk. Setiap langkah yang diambilnya terasa berat, seolah-olah dunia di sekitarnya mulai runtuh satu per satu.

"Dokter," panggil Langit dengan nada penuh harap saat ia melihat dokter yang merawat Sekar. "Apa benar-benar tidak ada cara untuk menyelamatkannya?"

Dokter itu menatap Langit dengan pandangan penuh empati. Ia sudah terlalu sering menghadapi situasi seperti ini, namun tak pernah menjadi lebih mudah. "Kami telah melakukan yang terbaik, Langit. Sekar telah menjalani perawatan intensif, tetapi penyakitnya sudah terlalu parah."

Langit menggelengkan kepalanya dengan keras. "Pasti ada cara, Dok! Anda seorang dokter, Anda pasti bisa menyelamatkannya! Aku mohon!" Suara Langit mulai bergetar, penuh dengan desperasi.

Dokter itu menundukkan kepalanya, lalu menggeleng pelan. "Kami bisa membuatnya nyaman, tapi untuk menyembuhkan... sudah terlambat."

Lihat selengkapnya