Tujuh Hari Untuk Sekar

Baggas Prakhaza
Chapter #34

Di Ambang Batas

Hari kelima. Waktu terasa begitu lambat namun begitu cepat di saat yang bersamaan. Setiap detik berlalu seperti jarum jam yang berdetak lebih lambat dari biasanya. Di ruangan rumah sakit yang tenang, Langit tertidur lelap di kursi yang ada di samping ranjang Sekar. Tangannya masih erat menggenggam tangan Sekar, seolah-olah ia bisa menyalurkan sebagian hidupnya melalui genggaman itu. Tidur Langit tidak nyenyak, bahkan ketika matanya terpejam, rasa khawatir yang menggerogoti hatinya terus menghantui.

Dalam tidur yang samar, ia mulai mendengar suara—suara yang begitu akrab, suara deteksi jantung yang biasa menenangkan, kini semakin pelan, semakin melemah. Perlahan-lahan, suara itu mengusik tidur Langit, seperti panggilan lembut yang membangunkannya dari tidur penuh kecemasan.

Langit tersentak bangun, matanya terbuka dengan penuh kebingungan. Ia menoleh ke arah monitor di samping ranjang Sekar, dan melihat garis yang semakin menurun, suara deteksi jantung yang melemah semakin nyata. Jantungnya sendiri berdetak keras dalam dada, ketakutan mendadak menyerbu pikirannya.

"Detaknya... melemah..." bisik Langit dengan napas tersengal. Tanpa berpikir dua kali, ia berdiri dengan tergesa-gesa, namun langkahnya goyah. Kepanikannya menguasai dirinya. Sekar, orang yang paling ia cintai, kini berada di ambang batas antara hidup dan mati.

Langit berlari ke arah pintu, namun saat melewati pintu keluar kamar, kakinya tersandung sebuah kursi kecil yang berada di dekat pintu. Dengan suara keras, Langit terjatuh, tubuhnya menghantam lantai dingin rumah sakit. Rasa sakit menjalar di kakinya, tapi ia tidak peduli. Matanya penuh dengan air mata ketakutan, dan yang ada di pikirannya hanyalah Sekar.

"Ya Tuhan..." Langit meringis sambil mencoba bangkit, namun kesakitan yang begitu nyata menyiksanya. Tangannya gemetar saat ia berusaha berdiri, namun tubuhnya terasa lemas. Beberapa orang yang melihat kejadian itu segera mendekat untuk membantunya. Seorang perawat dan seorang pengunjung yang berada di dekat situ segera menghampiri, berusaha membantunya bangun.

"Anda baik-baik saja?" tanya perawat itu dengan cemas.

Namun, Langit menepis bantuan itu dengan tergesa-gesa. "Tidak... tidak... Aku harus segera ke dokter! Sekar... detak jantungnya melemah!" ucapnya dengan nada panik, hampir tidak terkontrol. Dia tidak bisa memikirkan apa pun selain Sekar. Semua rasa sakit di tubuhnya seolah tertutupi oleh ketakutan mendalam yang memenuhi pikirannya.

Meski kakinya masih terasa sakit, Langit kembali berlari dengan langkah tertatih-tatih menuju ruangan dokter. Setiap langkah terasa seperti perjuangan, namun tekadnya lebih kuat daripada rasa sakit yang dirasakannya. Ketika ia sampai di depan ruangan dokter, dengan nafas terengah-engah, ia membuka pintu dengan cepat.

"Dokter!" serunya penuh kepanikan, membuat dokter yang baru saja sampai di ruangannya terkejut.

Lihat selengkapnya