Hari keenam. Ruangan rumah sakit terasa hening, hanya suara detak jantung yang samar dari monitor yang terdengar, seolah-olah memberi tanda kehidupan yang rapuh. Langit masih tertidur di kursi kecil di samping ranjang Sekar, meskipun tidurnya tidak nyenyak, penuh dengan kekhawatiran dan kelelahan. Matanya terpejam, namun hatinya terus-menerus cemas, takut jika kapan saja ia terbangun, Sekar sudah tidak ada di sisinya lagi.
Sekar, yang sejak semalam berada dalam kondisi tak sadarkan diri, perlahan-lahan membuka matanya. Cahaya pagi yang menerobos masuk melalui jendela menyambutnya dengan lembut, menyoroti wajahnya yang pucat namun tetap memancarkan keindahan. Tubuhnya terasa begitu lemah, bahkan untuk menggerakkan tangan pun ia harus mengumpulkan seluruh kekuatannya. Namun, di tengah rasa lemah yang menghimpitnya, senyum kecil tersungging di bibirnya saat pandangannya tertuju pada Langit yang masih tertidur lelap di sampingnya.
Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Sekar memandang Langit, orang yang selama ini memberikan cinta tanpa batas, bahkan di tengah ketidakpastian dan ketakutan. Sekar tahu, hidupnya mungkin tinggal hitungan jam atau hari. Namun, meskipun rasa sakit menjalar di sekujur tubuhnya, yang ia rasakan hanyalah kebahagiaan melihat Langit berada di sisinya.
Sekar membatin, *Jika aku diberi umur panjang dan kesempatan sekali lagi, aku akan melewati lebih dari seribu tahun bersamamu, mulai dari sekarang, Langit. Tapi, kenyataan ini berbeda..., Air matanya mengalir perlahan, bukan karena rasa sakit yang ia rasakan, tetapi karena cinta yang begitu mendalam terhadap Langit.
Tuhan, jika aku masih diberi kesempatan, izinkan aku berada di sisinya lebih lama. Namun jika waktuku sudah habis, tolong biarkan dia melepaskan cintanya kepadaku dengan tenang. Aku tidak ingin dia terus menangis akan kepergianku, Tuhan. Aku mohon... temukan kebahagiaan untuknya, meski itu tanpa diriku... Sekar berdoa dalam hati, air matanya jatuh perlahan di pipi. Ia tahu, perpisahan semakin dekat, namun cintanya untuk Langit tidak akan pernah berakhir.
Jika sisa waktuku telah habis, biarkan cinta ini menghilang bersama waktu, tapi cintaku padanya akan abadi di surga... Sekar mengucapkan doa terakhirnya dalam hati, penuh dengan ketulusan yang mendalam. Air matanya mengalir lebih deras, namun ia tetap tersenyum—sebuah senyum yang penuh harapan, meskipun ia tahu harapan itu semakin menipis.
Dalam keheningan itu, Langit tiba-tiba terbangun. Matanya perlahan terbuka, dan hal pertama yang ia lihat adalah wajah Sekar yang sedang menatapnya sambil menangis. Air mata Sekar yang mengalir membuat Langit tersentak. Ini pertama kalinya ia melihat Sekar menangis dengan begitu dalam, dan hatinya langsung dipenuhi dengan kekhawatiran.
"Sekar... kenapa kamu menangis?" tanya Langit dengan suara bergetar. Rasa khawatir yang selama ini ia tahan tiba-tiba tumpah ruah. Tangannya yang masih menggenggam tangan Sekar terasa semakin erat. "Apa yang terjadi? Kenapa kamu menangis?"