Pagi itu, cahaya matahari masih bersembunyi di balik cakrawala, sementara embun pagi perlahan menguap di atas rerumputan, memberikan kesegaran terakhir yang lekat pada udara. Ruangan rumah sakit yang sunyi hanya ditemani suara alat-alat medis yang terus berdetak, menandakan keberadaan kehidupan yang semakin rapuh. Di ranjang rumah sakit, Sekar masih terbaring lemah, tubuhnya hampir tak bergerak, hanya hembusan nafas pelan yang mengisi ruang kecil itu. Namun, ada sesuatu yang berbeda pagi ini.
Sekar dengan pelan membuka matanya, meskipun setiap gerakan tampak seperti perjuangan besar bagi tubuhnya yang kian melemah. Ia menoleh ke arah Langit yang tertidur di samping ranjangnya, kepalanya menyandar di tepi ranjang sambil menggenggam erat tangan Sekar. Tatapan Sekar yang lemah dipenuhi dengan kelembutan yang tak terhingga. Dengan suara yang hampir tidak terdengar, ia memanggil Langit.
"Langit..."
Langit yang semula tenggelam dalam tidur lelahnya terbangun dengan cepat begitu mendengar suara Sekar. Matanya yang sayu langsung tertuju pada Sekar, dan hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya. "Sekar...," bisiknya, suaranya dipenuhi kekhawatiran. "Kamu sudah bangun?"
Sekar tersenyum tipis, meskipun senyum itu tampak penuh perjuangan. Tangan lemah Sekar terangkat sedikit, menunjuk ke arah bunga tulip di dekat jendela. Bunga yang kemarin masih kuncup itu kini perlahan mekar, menyebarkan keindahan yang baru muncul dari tengah kelopak-kelopak lembutnya. Langit menoleh, melihat bunga tulip itu dengan penuh haru.
"Bunga tulip itu...," ujar Sekar, suaranya hampir seperti bisikan angin. "Ia mekar... seperti yang kuharapkan."
Langit terdiam, merasakan perasaan campur aduk antara bahagia dan cemas. "Ya, tulip itu mekar, Sekar," jawabnya dengan senyum getir, meskipun di dalam hatinya ada rasa takut yang semakin mendalam. Ia menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. "Tapi kamu lebih penting, Sekar. Aku akan panggil dokter sekarang..."
Ketika Langit hendak bangkit untuk memanggil dokter, tangan Sekar tiba-tiba menggenggam tangannya lebih erat, sekuat tenaga yang tersisa dalam tubuh lemah itu. Genggaman itu tidak kencang, tetapi cukup untuk membuat Langit berhenti.
"Jangan...," bisik Sekar. "Temani aku, sayangku... Tetap di sini."
Langit tertegun. Matanya penuh kecemasan dan keputusasaan, ia bingung antara mengikuti permintaan Sekar atau memanggil dokter. Ia ingin melakukan segalanya untuk menyelamatkan gadis yang sangat ia cintai, tetapi di saat yang sama, ia juga tidak ingin meninggalkan Sekar dalam kondisi seperti ini. Pandangan mata Sekar membuat Langit memahami satu hal—Sekar ingin ditemani, bukan diselamatkan.