Tujuh Hari Untuk Sekar

Baggas Prakhaza
Chapter #37

Masa Berkabung

Langit berdiri diam di depan pusara Sekar, menatap batu nisan yang masih basah oleh hujan kemarin malam. Di sekelilingnya, angin bertiup pelan, membawa bisikan dari pepohonan sekitar. Ibu Sekar mendekatinya, wajahnya penuh kesedihan dan kelelahan yang tak bisa disembunyikan. "Langit, nak... ayo pulang. Kita berdoa bersama di rumah," ucapnya dengan suara lembut yang bergetar. Namun, Langit tetap diam, tidak mengalihkan pandangannya dari kuburan Sekar. Dia hanya berdiri, tangannya gemetar menggenggam sebuah bunga tulip yang ia bawa dari rumah sakit.

Ayah Sekar, yang berada tidak jauh dari mereka, menatap Langit dengan penuh pengertian. "Biarkan dia di sini sebentar lagi," katanya pelan kepada istrinya. "Dia butuh waktu." Ibu Sekar mengangguk perlahan, menghapus air matanya dengan sudut jilbabnya. Mereka berdua kemudian melangkah mundur, memberi Langit ruang untuk sendiri, untuk berhadapan dengan kesedihannya yang mendalam.

Ketika keluarga Sekar pergi, Langit akhirnya berlutut di depan makam itu. Air matanya tumpah tanpa suara, jatuh membasahi tanah yang masih segar, mengubur kehangatan seorang gadis yang pernah menjadi pusat dunianya. "Sekar..." bisiknya dengan suara serak. Kata-kata seakan tersangkut di tenggorokannya, tenggelam oleh rasa kehilangan yang begitu dalam. Dia mengulurkan tangannya, menyentuh tanah yang dingin di depannya. "Kenapa harus kamu? Kenapa bukan aku saja?"

Dia berjuang untuk berdiri, tubuhnya lemas, seakan segala tenaga telah diserap oleh bumi yang kini memeluk Sekar dalam diam. Langit memejamkan mata, teringat akan bunga tulip yang ia taruh di samping ranjang Sekar di rumah sakit. Bunga itu adalah permintaan terakhir Sekar, bunga yang masih kuncup saat dia memberikannya. Dan saat dia membuka mata, dalam bayangannya, ia melihat Sekar tersenyum di samping bunga itu, mengagumi keindahannya.

Langit terhenyak. Dia harus kembali ke rumah sakit. Dia harus mengambil bunga itu. Seolah mendapatkan tenaga baru, Langit bergegas meninggalkan pemakaman. Langkahnya tertatih-tatih, namun penuh tekad. Dia berlari menembus angin yang menderu, seakan mengejar bayang-bayang Sekar yang perlahan menjauh dari pandangannya.

Lihat selengkapnya