Tujuh Hari Untuk Sekar

Baggas Prakhaza
Chapter #38

Kehidupan yang Hampa

Hari-hari berlalu seperti angin musim gugur yang dingin dan tak berwarna. Langit terjebak dalam lingkaran waktu yang seolah berhenti sejak kepergian Sekar. Setiap pagi terasa begitu asing, begitu sepi, seperti dunia telah kehilangan cahayanya. Dia bangun, menjalani rutinitas yang dulu biasa mereka lakukan bersama, tetapi sekarang semuanya berbeda. Kini, hanya ada kesunyian yang mengisi ruang-ruang di dalam hatinya, membuatnya terjebak dalam kehampaan yang tak kunjung hilang.

Langit berjalan melalui koridor rumah dengan langkah lambat, melintasi dinding yang penuh dengan foto-foto mereka. Senyum Sekar terpampang di setiap bingkai, menatapnya dengan mata yang penuh cinta dan kebahagiaan. Setiap kali menatap foto itu, hatinya terasa seperti ditikam ribuan jarum. Dia ingin sekali meraih sosok di dalam foto itu, ingin menarik Sekar kembali ke sisinya. Namun, dia tahu, Sekar telah pergi, meninggalkan dunia ini bersama cinta mereka yang tak tergantikan.

Di meja ruang tamu, pot bunga tulip masih berdiri di sana, dengan bunga yang kini mulai layu. Bunga itu adalah saksi bisu dari cinta mereka, saksi dari hari-hari terakhir Sekar di dunia ini. Langit berjalan mendekatinya, menatap bunga itu dengan tatapan kosong. "Bunga yang sangat cantik," terdengar suara Sekar berbisik dalam kepalanya. Suara yang lembut dan penuh kehangatan. Dia terkejut, melihat sekeliling dengan panik, berharap Sekar benar-benar ada di sana. Namun, yang ada hanya keheningan, dan kesadaran bahwa itu hanyalah gema dari kenangan yang terus menghantuinya.

Dia menarik kursi dan duduk di hadapan bunga tulip itu. Dalam keheningan yang mencekam, air mata mengalir tanpa suara. Langit menyentuh kelopak bunga yang mulai layu, merasakan teksturnya yang rapuh di ujung jarinya. "Sekar," bisiknya dengan suara serak. "Apa kamu di sana? Apa kamu masih bersamaku?" Namun, yang menjawab hanyalah kesunyian. Hatinya merasakan kehampaan yang dalam, seakan-akan dia terjebak dalam ruang hampa udara, di mana tidak ada satu pun suara atau harapan.

Setiap sudut rumah ini membawa kenangan akan Sekar. Dapur di mana mereka pernah memasak bersama, tertawa saat sayuran terlempar keluar dari penggorengan. Sofa tempat mereka berbagi cerita, berbagi mimpi, dan berbagi cinta. Kini, semua itu terasa seperti bayangan samar yang memudar. Tidak ada lagi suara tawa Sekar yang mengisi ruang ini, tidak ada lagi tatapan penuh cinta yang selalu menyambutnya.

Hari-hari Langit kini diisi dengan kesendirian. Dia bangun setiap pagi, menyiapkan sarapan seperti biasa, dan duduk di meja makan dengan dua piring. Satu untuknya, dan satu lagi untuk Sekar, yang tetap kosong. Dia melakukan ini setiap hari, berharap suatu saat Sekar akan muncul dan duduk di depannya, tersenyum seperti dulu. Namun, itu tidak pernah terjadi. Piring itu tetap kosong, menjadi saksi dari cinta yang tak lagi hadir secara fisik.

Lihat selengkapnya