Tujuh Hari Untuk Sekar

Baggas Prakhaza
Chapter #39

Kenangan yang Terus Hidup

Sejak kepergian Sekar, kenangan akan dirinya seperti bayangan yang terus melekat dalam pikiran dan hati Langit. Setiap sudut kota, setiap aroma, setiap lagu yang terdengar seolah-olah membawa potongan-potongan memori yang begitu kuat hingga terasa nyata. Langit menjalani hari-harinya dalam diam, bergerak di antara hiruk-pikuk dunia yang terus berjalan tanpa peduli bahwa dunia Langit telah berhenti.

Pagi itu, setelah berminggu-minggu berusaha keras untuk bertahan dalam kesepian, Langit mencoba untuk kembali menjalani rutinitas di kantornya. Namun, segalanya terasa berat. Langit berusaha menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan, mengalihkan pikirannya dari kehilangan yang terasa tak tertahankan. Namun, sesering apapun ia mencoba mengalihkan perhatian, bayangan Sekar selalu kembali, menggema di setiap sudut ruang hatinya yang hampa.

Saat waktu istirahat tiba, Langit membawa secangkir kopi ke balkon di lantai dua, sebuah tempat favoritnya untuk menenangkan pikiran. Balkon itu menghadap taman yang hijau, di mana pepohonan bergoyang pelan terkena angin. Di sinilah Langit sering berdiri sendirian, memandangi langit yang luas sambil berharap menemukan sedikit kedamaian di tengah gelombang perasaannya yang begitu dalam dan tak tertata. Di sinilah dia sering teringat akan Sekar—tersenyum, tertawa, memandang langit bersamanya. Bayangan itu terasa begitu dekat, seperti Sekar masih ada di sampingnya.

Langit menyesap kopi hitamnya perlahan. Pandangannya melayang jauh ke arah pepohonan yang bergoyang. Saat itu, tanpa sadar, dia mulai mendengar bisikan lembut di dalam benaknya, suara Sekar yang begitu jelas, begitu dekat. “Langit, hari ini indah, ya?” Suara itu membawa kembali kenangan sore-sore mereka bersama, saat Sekar selalu memuji betapa damainya pemandangan di luar sana.

"Ya, indah sekali," jawab Langit dalam hatinya. Matanya berkabut oleh kenangan. Dia merasa seperti Sekar benar-benar ada di sampingnya, berdiri bersamanya di balkon itu, menghirup aroma kopi dan udara pagi yang segar.

Sambil memandangi hamparan langit biru, Langit mendengar langkah kaki mendekat di belakangnya. “Langit…” Suara itu lembut dan tenang, terdengar akrab namun sedikit asing.

Langit langsung menoleh tanpa berpikir panjang, dan secara refleks dia menyebut nama yang paling mengisi hatinya. “Sekar…?”

Namun, saat ia melihat sosok itu, jantungnya berhenti sejenak. Itu bukan Sekar. Itu adalah Freya, teman lama mereka, seseorang yang pernah duduk di bangku sebelah Sekar selama masa sekolah. Freya menatapnya dengan ekspresi lembut, sedikit terkejut, namun tidak berkata apa-apa.

Lihat selengkapnya