Sejak kepergian Sekar, langit terasa mendung bagi keluarga kecil itu. Tidak hanya bagi Langit, yang telah kehilangan separuh jiwanya, tetapi juga bagi ayah dan ibu Sekar yang kehilangan putri kesayangan mereka. Namun, mereka menyadari bahwa di balik semua duka itu, Langit juga telah menjadi bagian dari keluarga mereka, seorang anak yang mereka anggap dan sayangi layaknya darah daging sendiri.
Setiap hari, ayah Sekar memperhatikan Langit dari kejauhan. Ia sengaja datang ke kantor Langit, hanya untuk memastikan bahwa pemuda itu masih bertahan. Ia melihat Langit keluar dari gedung kantor dengan langkah gontai, kepalanya selalu tertunduk. Tak pernah ada senyuman di wajahnya yang dulu penuh semangat dan tawa. Setiap gerak-geriknya memancarkan kesedihan yang tak terkatakan.
Ayah Sekar berdiri di sisi jalan, bersembunyi di balik pohon besar agar Langit tidak menyadari kehadirannya. Dengan perasaan bercampur aduk, ia mengamati bagaimana Langit menyeberang jalan, melangkah tanpa tujuan seperti seseorang yang kehilangan arah. Ada saat-saat ketika ayah Sekar ingin menghampiri dan memeluknya, ingin memberitahu bahwa mereka juga merasakan kehilangan yang sama. Namun, setiap kali ia mencoba melangkah maju, kata-kata seolah tercekat di tenggorokannya.
Langit selalu terlihat begitu jauh, begitu tenggelam dalam dunianya yang sepi dan penuh dengan kenangan. Tak ada waktu yang tepat bagi ayah Sekar untuk mendekat dan berbicara dengannya. Setiap kali melihat Langit berjalan menjauh, perasaan tak berdaya menghantam dada ayah Sekar. Ia merasa seperti seorang ayah yang tidak mampu menghibur anaknya di saat yang paling dibutuhkan.
Ketika akhirnya ayah Sekar kembali ke rumah pada malam hari, ia disambut oleh ibu Sekar yang selalu menunggu kabar tentang Langit. Ibu Sekar tahu bahwa suaminya selalu memantau keadaan Langit, dan ia berharap setiap hari mendengar sesuatu yang baik, bahkan sekecil apapun. Namun, ketika ia melihat ekspresi wajah suaminya yang penuh kesedihan, ibu Sekar sudah tahu jawabannya.
“Bagaimana Langit hari ini?” tanya ibu Sekar dengan suara pelan, takut mendengar apa yang akan dijawab.
Ayah Sekar menggeleng pelan. “Dia masih sama… masih tenggelam dalam kesedihannya. Dia bahkan tidak menyadari kehadiranku, atau mungkin dia memilih untuk mengabaikannya. Aku tidak tahu, Bunda. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana caranya membantunya keluar dari duka ini.”
Mendengar kata-kata suaminya, air mata ibu Sekar mulai menggenang. Hatinya terasa sakit setiap kali memikirkan keadaan Langit. Baginya, Langit bukan hanya seseorang yang mencintai putrinya, tapi juga sosok yang telah menjadi bagian dari keluarga mereka. Sekar pernah berkata padanya, “Ibu, jika aku memiliki saudara, aku ingin dia seperti Langit.” Kata-kata itu masih terngiang di benak ibu Sekar, membuat hatinya teriris setiap kali melihat Langit dalam kesedihan yang mendalam.