Langit berdiri di depan rumah keluarga Sekar, matanya masih basah oleh hujan dan tangis. Di tangannya, ia memegang pot bunga tulip yang kini bergetar bersama tubuhnya yang lelah. Pintu rumah terbuka perlahan, dan Ibu Sekar berdiri di sana, wajahnya penuh kehangatan. "Langit..." ucapnya pelan, suaranya lembut namun jelas. Ia segera menghampiri Langit, memeluknya erat tanpa berkata-kata. Pelukan itu adalah pelukan seorang ibu, yang menenangkan dan memeluk seluruh duka yang ada dalam hatinya.
Ayah Sekar mengikuti di belakang, matanya menatap Langit dengan kelembutan yang jarang terlihat. Ketika Langit masuk, ia merasakan aroma rumah ini—aroma yang membawa kembali semua kenangan tentang Sekar. Ruangan yang dulu terasa hidup dengan tawa Sekar kini terasa hampa, namun kehangatan orang tua Sekar mulai mengisi kehampaan itu perlahan-lahan.
"Bunda... Ayah..." Langit berucap lirih, suaranya bergetar. "Aku... aku merindukan Sekar." Air matanya kembali mengalir, tak mampu ia tahan.
Ibu Sekar memeluknya lebih erat, dan berkata, "Kami juga, Nak... kami juga sangat merindukannya. Tapi sekarang, kamu adalah bagian dari keluarga kami." Langit mendengar suara itu, dan untuk pertama kalinya sejak kehilangan Sekar, hatinya merasakan sedikit kehangatan. Kehangatan yang mengingatkannya pada pelukan Sekar.
Mereka duduk di ruang tamu, dan Ayah Sekar mengundang Langit untuk makan malam. Mereka menyiapkan hidangan sederhana, tapi terasa begitu istimewa malam itu. Ketika mereka duduk di meja makan, Langit merasa dirinya berada di dunia yang berbeda. Dunia di mana ia bukan lagi sendirian, di mana ia masih bisa merasakan kehadiran Sekar dalam bentuk lain. Dalam keluarga yang kini menganggapnya sebagai anak sendiri.
Saat makan malam berlangsung, Langit mencoba untuk tidak menangis lagi. Namun, sesekali ia merasakan kerongkongannya sesak, kenangan akan Sekar kembali menghantamnya seperti ombak besar yang sulit ia hindari. Ibu Sekar menyadari hal itu, ia menaruh tangannya di atas tangan Langit yang menggenggam sendok dengan erat. "Nak, makanlah perlahan. Sekar ingin kamu kuat, ingin kamu bahagia."
Langit menatap mata Ibu Sekar, dan ia melihat Sekar di sana. Senyum Sekar yang hangat, perhatian Sekar yang selalu ia rasakan. "Bunda...," katanya pelan, "aku merasa tidak pantas untuk semua ini. Aku hanya—"
"Ayah dan Bunda melihat Sekar dalam dirimu," sela Ayah Sekar tiba-tiba, suaranya mantap namun lembut. "Sekar mencintaimu dengan seluruh hatinya. Kami tahu itu, dan kami tahu betapa pentingnya kamu baginya. Saat dia pergi, kami merasa kehilangan bukan hanya putri kami, tetapi juga kebahagiaan yang kamu bawa dalam hidupnya."
Langit menunduk, air matanya menetes jatuh di atas piring. "Tapi... aku tidak bisa menggantikan Sekar. Aku hanya ingin..." Kalimatnya terputus oleh sesak di dadanya.