Tujuh Hari Untuk Sekar

Baggas Prakhaza
Chapter #43

Tulisan Untuk Sekar

Langit berbaring di tempat tidur Sekar, merasakan kenyamanan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ruangan ini seolah memiliki jiwa, kehangatan yang masih terasa, seakan Sekar sendiri yang menyelimuti kamarnya dengan cinta. Dindingnya dihiasi dengan warna-warna pastel lembut, dan setiap sudut kamar tampak hidup dengan sentuhan pribadi Sekar. Di sisi tempat tidur, ada rak kecil berisi buku-buku, hiasan kecil, dan di atasnya terdapat beberapa pot bunga kecil yang pernah dirawat Sekar. Di sudut ruangan, sebuah meja tulis penuh dengan tumpukan buku dan catatan-catatan kecil yang diletakkan rapi.

Langit menghela napas panjang. Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak lagi asing. Ia merasa seperti pulang. Ketika ia bangun dari tempat tidur, matanya tertuju pada rak kecil di sudut ruangan. Di sana, ia melihat beberapa buku catatan dengan sampul warna-warni. Langit mendekat, menarik satu buku catatan yang terlihat sedikit usang. Sampulnya berwarna biru muda dengan tulisan tangan Sekar di bagian depannya: "Diary Sekar."

Langit membuka halaman pertama dengan hati-hati, takut jika terlalu kasar, ia akan merusak sesuatu yang sangat berharga. Ia membaca tulisan pertama di buku itu, tulisan yang tampak ceria dan penuh harapan. "Hari ini adalah hari pertama di SMA. Aku merasa gugup tapi juga sangat bersemangat. Aku berharap bisa bertemu banyak teman baru dan mungkin... seseorang yang istimewa."

Langit tersenyum pahit. Ia tahu siapa seseorang yang istimewa itu. Sekar menulis banyak tentang harapannya, mimpinya, dan tentang perasaannya yang tumbuh sedikit demi sedikit. Setiap halaman menceritakan kisah tentang kehidupan Sekar, tentang bagaimana ia melihat dunia, tentang cinta pertamanya, dan akhirnya, tentang Langit.

Ia membalik halaman demi halaman, matanya berkaca-kaca saat membaca setiap baris kata yang ditulis oleh tangan Sekar. Kata-kata itu hidup, seakan Sekar sedang berbicara langsung kepadanya. Di setiap tulisan, Sekar mencurahkan perasaannya, baik kebahagiaan maupun kesedihannya. Langit merasa terhubung kembali dengan Sekar, seakan ia sedang berada di sampingnya, mendengar Sekar berbicara.

Langit menemukan bagian yang paling menyentuh di antara semua tulisan itu—bagian di mana Sekar menulis tentang hari-hari terakhirnya di rumah sakit. Tulisannya masih rapi, meski terlihat ada beberapa noda air yang menodai kertasnya, mungkin air mata Sekar ketika menulisnya.

"Langit, jika kau membaca ini suatu hari nanti, ketahuilah bahwa aku mencintaimu dengan seluruh hatiku. Aku takut, Langit. Aku takut akan hari ketika aku harus meninggalkanmu. Tapi aku ingin kau tahu, setiap detik bersamamu adalah hadiah terindah dalam hidupku. Bunga tulip yang kau berikan... selalu mengingatkanku akan harapan, akan keindahan yang masih ada meski di tengah kegelapan."

Air mata Langit mengalir deras saat membaca kata-kata itu. Ia menutup buku diary itu untuk sejenak, merasakan rasa sakit yang begitu nyata dalam dadanya. Sekar telah menulis semua ini dengan perasaan yang begitu dalam. Ia tahu, Sekar mencintainya dengan tulus, tanpa pamrih, dan tanpa akhir. Kenangan itu terlalu indah dan terlalu menyakitkan untuk diingat, namun Langit tidak bisa menolak kehadiran kenangan tersebut. Ia butuh kenangan itu untuk terus hidup, untuk merasa Sekar masih ada bersamanya.

Lihat selengkapnya