Tujuh Hari Untuk Sekar

Baggas Prakhaza
Chapter #44

Penerimaan

Langit duduk di bangku kayu di taman, tempat di mana ia dan Sekar sering menghabiskan waktu bersama. Angin berhembus lembut, membawa aroma bunga-bunga yang sedang bermekaran di sekelilingnya. Matahari sore mulai turun perlahan, memberikan cahaya keemasan yang menyelimuti taman dengan kehangatan. Di tangan Langit, ada seikat bunga tulip yang ia bawa dari rumah. Ia memandang bunga-bunga itu dengan tatapan lembut namun penuh kesedihan.

Sekian lama ia terjebak dalam rasa kehilangan yang begitu dalam. Setiap sudut kehidupan mengingatkannya pada Sekar—wajahnya, suaranya, senyumannya. Namun kini, setelah berbulan-bulan berlalu, Langit mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang perlahan merasuk ke dalam hatinya, mengisi kekosongan yang selama ini mendekapnya erat. Itu adalah perasaan penerimaan.

Di hadapannya, ada hamparan bunga-bunga tulip yang tumbuh dengan indah. Tempat ini menjadi saksi bisu cinta mereka, tempat di mana kenangan-kenangan itu hidup dan berkembang. Langit memejamkan matanya, mengingat saat-saat indah yang pernah mereka lalui bersama. Ia bisa merasakan Sekar di sini, di tempat ini, dalam setiap hembusan angin dan sinar matahari yang menyentuh wajahnya.

Dengan perlahan, Langit membuka matanya dan berbicara dengan suara lembut, seolah-olah Sekar sedang duduk di sampingnya. "Sekar," ucapnya pelan, "Aku tahu kamu sudah pergi. Aku tahu bahwa aku harus merelakanmu, melepaskanmu. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa cintaku padamu tidak akan pernah hilang. Kamu adalah bagian dari hidupku, dan akan selalu begitu."

Air mata mengalir di wajahnya, tapi kali ini tidak lagi terasa seperti beban yang menghancurkan. Air mata ini adalah air mata penerimaan, air mata yang membawa kelegaan. Ia tahu, Sekar ingin ia bahagia. Ia tahu, Sekar ingin ia terus melangkah maju, menemukan kembali kehidupan yang selama ini terasa hilang.

Langit memandang bunga tulip di tangannya. Bunga ini menjadi simbol cinta mereka, cinta yang tak lekang oleh waktu. Dengan hati-hati, ia meletakkan bunga-bunga itu di tanah, di antara hamparan tulip lainnya. "Ini untukmu, Sekar," bisiknya. "Untuk cinta kita yang akan selalu mekar, meski kau telah tiada."

Saat ia meletakkan bunga itu, angin berhembus lembut, seolah menyambut dan membawa pesan cintanya. Langit menutup matanya, merasakan angin itu menyapu wajahnya. Ia bisa mendengar suara Sekar dalam angin itu, suara lembut yang selalu memberinya kedamaian. "Aku akan baik-baik saja," bisik suara itu. "Jalani hidupmu, Langit. Carilah kebahagiaanmu, karena aku selalu ada di dalam hatimu."

Langit tersenyum samar, merasakan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia akhirnya menerima kenyataan bahwa Sekar telah pergi, tetapi cinta mereka akan tetap hidup. Ia tahu bahwa ia tidak perlu melupakan Sekar untuk melanjutkan hidupnya. Sebaliknya, ia akan mengenang Sekar sebagai bagian dari dirinya, sebagai kekuatan yang akan selalu ada di dalam hatinya.

Lihat selengkapnya