Tujuh Hari Untuk Sekar

Baggas Prakhaza
Chapter #49

Melanjutkan Hidup

Matahari pagi yang hangat menyinari kamar Langit, yang kini menjadi kamar Sekar dalam banyak hal. Cahaya lembut menembus tirai tipis, menari-nari di udara seolah membawa pesan baru untuk hari yang akan datang. Langit duduk di tepi ranjang, tangannya masih memegang buku diary Sekar yang telah menemani malam-malam panjangnya. Hari ini, untuk pertama kalinya, ia merasa berbeda. Ada ketenangan yang mulai merasuk ke dalam hatinya, sesuatu yang tidak ia rasakan sejak kepergian Sekar.

Langit menghela napas panjang, memejamkan matanya sejenak. Pagi itu ia terbangun dengan perasaan yang baru, perasaan bahwa akhirnya ia bisa melanjutkan hidup. Meskipun perasaan kehilangan masih ada, ia mulai merasakan ada kekuatan di balik semua kenangan yang ia miliki. Sekar mungkin tidak lagi ada di sisinya, tetapi cinta dan kenangan mereka akan selalu hidup dalam setiap langkahnya.

Hari-hari penuh kehampaan yang dulu menyelimuti hatinya perlahan memudar, digantikan dengan pemahaman bahwa meskipun Sekar telah pergi, hidup tetap harus terus berjalan. Langit tahu bahwa Sekar tidak ingin dia terjebak dalam kesedihan, dan sekarang ia bertekad untuk menjalani hidup sesuai dengan harapan Sekar.

Langit meletakkan diary itu di meja kecil di samping tempat tidur dan bangkit berdiri. Ia menatap dirinya di cermin, melihat bayangannya sendiri yang tampak berbeda. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Dia bukan lagi pria yang terpuruk dalam kesedihan yang mendalam, tetapi seseorang yang mulai memahami arti cinta sejati—cinta yang tak terbatas oleh waktu atau ruang.

Setelah mandi dan bersiap-siap untuk bekerja, Langit berjalan keluar dari kamar, dan di ruang makan, ia disambut oleh Bunda Sekar yang sudah menyiapkan sarapan. Wanita itu tersenyum lembut, senyum yang selalu membuat hati Langit terasa hangat.

"Selamat pagi, Langit," sapa Bunda Sekar dengan penuh kasih. "Bagaimana tidurmu?"

Langit tersenyum kecil. "Aku tidur cukup nyenyak tadi malam, Bu," jawabnya sambil duduk di kursi meja makan.

Bunda Sekar duduk di seberangnya, menatap Langit dengan mata penuh perhatian. "Aku senang mendengar itu, Nak. Kamu terlihat lebih tenang hari ini."

Langit mengangguk, mengambil secangkir teh yang telah disiapkan untuknya. "Aku rasa, aku mulai bisa menerima semuanya, Bu. Menerima kenyataan bahwa Sekar sudah pergi, tetapi dia tidak benar-benar meninggalkanku."

Bunda Sekar menatap Langit dengan mata berkaca-kaca. "Sekar akan selalu hidup dalam hatimu, Nak. Dan aku yakin dia bangga melihatmu sekarang. Kamu sudah melangkah lebih jauh dari yang kamu sadari."

Lihat selengkapnya