Tujuh Hari Untuk Sekar

Baggas Prakhaza
Chapter #51

Kisah Cinta yang Diabadikan

Langit duduk di meja kayu di kamarnya, tatapannya tertuju pada lembaran kertas kosong yang tersebar di depannya. Sudah berbulan-bulan sejak Sekar pergi, namun rasanya baru kemarin ia merasakan sentuhan lembut tangannya dan mendengar suara lembutnya yang menenangkan. Malam ini, di bawah cahaya lampu meja yang temaram, Langit mengambil keputusan besar: ia akan menulis kisah cinta mereka, mengabadikan kenangan indah yang pernah mereka bagi dalam sebuah buku.

Pena di tangannya terasa berat, bukan karena fisiknya, tetapi karena setiap kata yang akan ditulisnya akan membawa kembali setiap kenangan, rasa sakit, cinta, dan kebahagiaan yang pernah ada. Dengan napas yang panjang, ia mulai menulis.

"Ada seorang wanita bernama Sekar yang pernah mengisi hari-hariku dengan tawa, dengan kasih sayang, dan dengan keindahan yang tak terlukiskan..."

Langit menulis tentang pertemuan pertama mereka, tentang bagaimana Sekar masuk ke dalam hidupnya tanpa peringatan, membawa warna-warna cerah ke dalam dunia yang tadinya begitu kelabu. Ia menulis tentang tawa pertama mereka, obrolan panjang di tengah malam, dan kebiasaan-kebiasaan kecil yang membuat Sekar menjadi pribadi yang tak tergantikan. Kata demi kata, ia menulis seolah-olah Sekar ada di sana, duduk di sampingnya, tersenyum sambil mendengarkan setiap detail yang ia rangkai.

Buku itu bukan hanya sekadar cerita cinta biasa. Bagi Langit, ini adalah caranya untuk menjaga Sekar tetap hidup, bukan hanya dalam hatinya tetapi juga di dunia. Ia ingin orang lain merasakan betapa besar cinta yang pernah mereka miliki, bagaimana cinta itu membentuk dirinya menjadi siapa dia sekarang.

Ketika ia menulis tentang masa-masa sulit, Langit berhenti sejenak, air mata mengalir di pipinya. Bagian terberat adalah menulis tentang penyakit Sekar, tentang bagaimana ia menyembunyikan rasa sakitnya demi melihat Langit tersenyum. Tangannya bergetar saat ia menuliskan bagian di mana Sekar memintanya untuk menemaninya selama tujuh hari terakhir dalam hidupnya.

"Dia tahu bahwa hidupnya tidak akan lama lagi, namun dia memilih untuk membuat kenangan yang akan bertahan selamanya. Sekar adalah kekuatan dan kelemahanku, dia mengajariku apa arti cinta sejati..."

Setiap halaman yang dituliskannya seolah-olah menghidupkan kembali momen-momen itu. Langit menulis sepanjang malam, tanpa henti. Kertas-kertas yang sebelumnya kosong kini dipenuhi oleh tulisan tangannya, setiap goresan pena membawa emosi yang mendalam. Ada tawa dan air mata, ada kebahagiaan dan kesedihan, semua menyatu menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Langit menulis tentang hari-hari terakhir mereka, bagaimana Sekar dengan senyum lembutnya meminta maaf karena harus meninggalkannya. Dia menggambarkan perasaannya saat itu, perasaan hancur dan kehilangan, namun juga perasaan cinta yang begitu besar yang masih tertinggal. Ia menulis tentang malam ketika Sekar pergi, tentang rasa hampa yang ia rasakan saat itu. Namun, di balik semua itu, ada kehangatan. Ada perasaan bahwa Sekar tidak benar-benar pergi; ia ada di setiap kenangan, setiap langkah yang diambil Langit sejak saat itu.

Lihat selengkapnya