Pagi itu langit kelabu, namun angin yang berembus terasa hangat, seolah membawa pesan cinta dari masa lalu. Langit memandang ke arah jalan setapak yang membentang di depannya, diapit oleh pepohonan yang daunnya mulai menguning tanda musim gugur telah tiba. Ia menggenggam setangkai bunga tulip putih di tangannya, bunga yang selalu menjadi simbol cinta mereka, cinta yang kini abadi dalam kenangan dan kata-kata yang ia tuliskan dalam novelnya.
Langit melangkah dengan tenang menuju tempat peristirahatan Sekar. Sudah lama ia tidak datang ke sini, bukan karena ia melupakan Sekar, tetapi karena ia butuh waktu untuk berdamai dengan rasa kehilangan itu. Hari ini, ia kembali, dengan hati yang lebih damai dan jiwa yang penuh rasa syukur. Ia tahu, hari ini adalah saat yang tepat untuk memberikan penghormatan terakhir kepada wanita yang telah mengubah hidupnya selamanya.
Langit berhenti sejenak di depan gerbang pemakaman, menarik napas dalam-dalam dan menenangkan pikirannya. Tempat ini terasa begitu sunyi, namun penuh dengan kedamaian. Di setiap sudut, bunga-bunga bermekaran, memberikan warna di antara batu-batu nisan yang berdiri diam. Langit melanjutkan langkahnya, berjalan menyusuri jalan setapak dengan pandangan yang lurus ke depan. Di hatinya, ada perasaan hangat, seperti pelukan lembut yang selalu Sekar berikan.
Akhirnya, ia sampai di depan makam Sekar. Batu nisan yang sederhana namun indah itu berdiri kokoh, dengan tulisan yang mengukir nama Sekar dan tanggal kepergiannya. Langit berlutut perlahan, menatap nisan itu dengan mata yang berkaca-kaca. Di sebelah makam, ada beberapa bunga yang ditanam oleh orang tua Sekar. Langit tersenyum melihatnya, menyadari betapa cinta mereka terhadap Sekar begitu tulus, sama seperti cintanya.
Ia meletakkan bunga tulip putih itu di atas makam, lalu duduk bersila di sampingnya. Untuk beberapa saat, ia hanya duduk diam, merasakan keheningan dan meresapi kehadiran Sekar di sekitarnya. Angin berhembus lembut, membawa aroma bunga dan tanah yang lembap. Seolah alam pun ikut merasakan momen haru yang tengah dirasakan Langit.
Langit menarik napas panjang, lalu mulai berbicara dengan suara yang lembut, hampir seperti bisikan. "Sekar, ini aku, Langit," katanya, suaranya sedikit bergetar. "Sudah dua tahun berlalu sejak kau pergi, dan aku... aku telah banyak berubah sejak saat itu."
Ia berhenti sejenak, memandang ke arah langit yang mendung. "Kehilanganmu adalah hal terberat yang pernah kualami. Ada begitu banyak malam ketika aku merasa begitu hampa, seperti bagian diriku hilang bersamamu. Tapi, seiring waktu, aku mulai mengerti apa yang kau inginkan untukku. Kau ingin aku bahagia, kau ingin aku melanjutkan hidup."