Gue yang bersihin kamar mandi sebelum ini. Sialan. Udah capek-capek gue gosok itu lantai sampai kinclong, berhubung “Guru” selalu marah-marah kalau menurutnya kamar mandi masih belum bersih, tapi sekarang sia-sia karena lantainya kotor juga, oleh darah keparat itu sendiri! Bajingan!
Oh ya, hampir lupa tulis. Ini Haekal, dan maaf, Jan, gue tahu lo pasti gak suka lihat gue ngomong kasar. Gue perlu melakukannya demi tetap waras.
Lagian, gue rasa kita semua juga paham kalau dia pantas diolok-olok. Bangsat itu pantas mendapatkan semua keburukan yang ada di dunia ini, termasuk mati mengenaskan seperti keadaannya sekarang! Memangnya ada di antara kalian yang sedih? Enggak perlu! Pada akhirnya si berengsek itu mati terpotong-potong, ganjaran yang sesuai untuk kelakuannya selama ini! Karma menamparnya keras dan gue sungguh puas dengan itu.
Oke, Jan, gue tahu. Enggak usah kasih wejangan buat berkata baik-baik, lo juga puas dengan hasil ini, kan? Jangan ngelak, gue tahu seberapa bencinya lo ke Guru. Sama seperti kami semua.
Sebelum kalian semakin yakin buat nuduh gue yang melakukan ini semua, gue bener-bener, sangat, sejujur-jujurnya yakin enggak membunuh Guru. Setidaknya, kalau lihat cara dia mati, bukan gue yang bunuh. Gue udah nyiapin sesuatu, tapi bukan pakai benda tajam untuk menusuk dan memotong-motongnya kayak gitu.
Oke, kita mulai dari awal. Enggak dari awal banget sih, kepanjangan nanti, tapi sejak gue memutuskan untuk membuat rencana membunuh Guru.
Yah, gue rasa kalian juga tahu alasannya. Guru adalah orang paling kejam, paling busuk, dan paling enggak berhak merasakan hidup bebas tanpa beban di dunia ini. Si bajingan sering mukul, ngehina, caci-maki, ngehajar kita habis-habisan! Memangnya kalian enggak muak diperlakukan kayak gitu?
Mungkin emang gue yang paling gak disukai Guru, entahlah apa dia tahu nama gue atau tidak—itu enggak penting, karena gue selalu melawan. Tiap Guru mukul, gue selalu pukul balik, tiap dia mengumpat, selalu gue umpat balik. Gue enggak tahan diam aja tiap dia berlaku seenaknya.