Jan, ini Angga. Ada yang harus gue katakan tapi yang lain enggak perlu tahu. Makanya gue sengaja taruh kertas ini di tempat yang kira-kira cuma bakal lu yang akses—gue selipin di buku catatan lu.
Bukannya gue enggak percaya sama yang lain, tapi hal yang mau gue ungkapkan itu cukup … berat? Pokoknya, gue tahu gue paling bisa mengandalkan lu buat pegang rahasia besar ini.
Jadi, ingat kan, waktu sebelumnya di jurnal bersama itu, gue pernah tulis kalau gue langsung nusuk Guru ketika kita lagi berantem dan gue keburu naik pitam? Itu memang benar, tapi ada bagian yang sebenarnya gue sembunyikan demi seseorang.
Hal yang sebenarnya terjadi kemarin sore itu adalah: bangun-bangun gue tiba-tiba harus berhadapan dengan Guru yang marah-marah gara-gara kopinya terlalu pahit. Gue awalnya bingung, kenapa pula dia tiba-tiba mengamuk. Tapi begitu dia ancang-ancang mau tonjok, otomatis gue menghindar dan malah ikut tersulut emosi.
Lu tahu, lah, setelah semua yang terjadi pada kita, semua penyiksaan yang diberikan oleh Guru meski kita tidak melakukan kesalahan sekalipun, lalu ditambah lebih parah dengan kasus Ayu dan juga Leila (ini gue baru tahu), rasanya sangat wajar jika pada titik itu tali kesabaran gue udah putus.
Ya bayangkan saja. Dari kecil kita enggak pernah bisa kabur dari segala pukulan atau caci-maki Guru. Leila, istri si berengsek itu sendiri, ternyata malah terbunuh di salah satu fase mengamuknya dan tubuhnya dengan tidak terhormat dikubur begitu saja di halaman rumah, halaman rumah kita.
Dan ya, Ayu, sahabat dekat Intan, tahunya ikut ditarget Guru dan malah jadi korban si bejat. Gue sama sekali enggak mau ingat apa yang udah Guru kemungkinan lakukan ke Ayu setelah menculiknya beberapa bulan lalu. Gue enggak sanggup. Apalagi menghadapi kenyataan pahit bahwa memang mungkin saja, bahkan sudah hampir pasti, Ayu sudah tidak ada dan lokasi tubuhnya masih belum bisa kita temukan.