Apa yang lebih menyakitkan dari mengucapkan selamat tinggal kepada orang yang kau cintai?
Pada tahun 1983, ibuku memulai kehidupan barunya sebagai seorang istri. Ayahku membawanya dari Padang yang panas oleh hawa Samudra Hindia ke Puncak, Bogor yang dingin oleh derai hujan. Ibuku tidak tahan dingin, dan dengan segera mengetahui bahwa tubuhnya memiliki alergi dingin. Menjelang subuh, kulitnya akan membengkak dan rasa gatal yang panas menyerang tubuhnya. Alerginya semakin parah ketika mengandung Bram, abangku. Dia mulai sering menangis dan menolak semuanya, termasuk ayahku. Terdorong oleh rasa cemas akan kesehatan Ibu, Ayah kemudian pindah ke daerah yang lebih hangat. Bandung. Dia memindahkan toko pakaiannya ke sebuah toko kecil di selatan Bandung. Sepuluh tahun setelah itu, toko pakaiannya berkem- bang hingga dia bisa membeli ruko. Lima belas tahun setelahnya, dia membeli toko lagi, kali ini di kawasan Cihampelas. Tiga puluh tahun sejak resmi pindah ke Bandung, ayahku memiliki lima toko pakaian, ditambah sebuah konveksi yang ditangani abangku.
Bila melihat kehidupan orangtuaku pada masa kini, aku selalu berpikir kehidupan pernikahan mereka baik- baik saja. Sepanjang ingatanku yang lemah ini, mereka jarang sekali bertengkar. Ayah atau Ibu tidak pernah minggat dari rumah karena perselisihan. Pertengkaran mereka hanya sesekali, itu pun cepat mereda. Selalu Ayah yang berinisiatif untuk mengalah. Biasanya, kalau ayahku sudah bicara, ibuku akan lunak pula hatinya. Ibuku tipe perempuan emosional. Mudah terbawa emosi, tetapi mudah pula meredakannya. Mungkin emosinya yang labil itu dikarenakan jauhnya dia dari keluarga. Seluruh keluarganya ada di Sumatra Barat dan satu-satunya orang yang dia kenal di perantauan hanya suaminya sendiri, ayahku yang asli Bogor. Betapa kupikir, sebuah pernikahan bisa mengubah hidup seseorang sedrastis itu. Bagaimana sebuah pernikahan membuat seorang perempuan rela menyerahkan seluruh dirinya kepada seorang laki-laki yang tidak dikenal sebelumnya. Rela dibawa ke tempat yang jauh. Rela mengabdi kepada laki-laki itu seumur hidup. Rela melahirkan dan merawat anak-anak. Rela melakukan segalanya.
Aku tidak tahu persis apa yang kuinginkan ketika menerima lamaran Evan. Aku hanya tahu satu hal, aku ingin bersamanya sepanjang waktu. Itu saja. Apakah ini alasan yang tepat untuk menerima lamaran seseorang? Entahlah. Aku menyukai Evan sejak kali pertama kami bertemu di Galeri Taman Budaya. Dia manis, lembut, penuh perhatian pada setiap percakapan, dan tatapannya ... bikin jantungku dag-dig-dug tak keruan. Kulitnya kuning kecokelatan, wajahnya tirus, badannya sedikit kurus. Saat itu dia kelihatan sangat bergaya dengan kemeja dan celana katunnya. Setelah sekian lama bergaul dengan mahasiswa seni rupa yang sebagian besar senang berpenampilan slengekan, bertemu dengan seniman yang sebenarnya (begitu istilahku untuk Evan), yang begitu resik, sungguh mengejutkan dan terus terang, sangat membetot perhatian. Ya ya, aku jatuh cinta. Ya ya, aku ingin bersamanya.