Pada suatu hari nanti aku akan mengingat ini. Kecipak ikan di kolam, kabut mengambang di kaki Singgalang, anak-anak yang berlarian di pesawahan. Rumah berlantai kayu kelapa yang hangat, juga dinding kaca besar, tempat aku dan Evan dulu memandang dan membicarakan bintang setiap malam, Cassiopeia, Pleiades, Alpha Centauri. Aku juga akan merindukan bau cat minyak dan hawa studio lukis Evan yang dingin.
“Jangan pergi,” berkata Esa.
Aku memandang langit senja yang berawan.
“Kamu ingat Shakespeare?” tanyaku.
“Shakespeare?”
“Kira-kira, kenapa Shakespeare membunuh Romeo?”
“Oh, entahlah. Aku belum baca bukunya.”
Aku mengayunkan kaki di permukaan air kolam yang hijau kecokelatan. Dua meter di sebelahku, Esa, adik Evan satu-satunya, duduk memandangku. Rambutnya sudah lebih panjang dari terakhir kami bersua. Tubuhnya juga sedikit lebih berisi. Satu-satunya hal dari wajahnya yang mengingatkanku pada Evan adalah mata cokelat gelapnya. Esa lebih riang, lebih terbuka, dan lebih lincah dalam semua hal. Suaranya serak, tetapi hangat. Suara yang disukai para muridnya di sekolah alam, tempat dia mengajar. Aku kagum kepada Esa. Dia tidak pernah berhenti memajukan dirinya. Sementara aku membeku dalam rumah galeri Evan yang dingin, dia terus berkarya di Padang sana. Pekan depan dia akan ke Yogyakarta, mengikuti pelatihan menulis buku pelajaran yang diselenggarakan oleh Kemdikbud. Naskah buku bahasa Indonesianya lolos uji dalam kompetisi penulisan buku pelajaran beberapa waktu lalu.
“Cinta sejati adalah cinta yang tidak pernah bertemu.”
“Itu katanya?” Esa menaikkan kedua alisnya.
“Ya.”
“Aneh sekali.”
“Ya. Dia membiarkan cinta Romeo dan Juliet berkeliaran dalam imaji orang-orang.”