Tujuh Tahun Tanpa Nama

Raia Digna Amanda
Chapter #2

Sunyi yang Tersisa

Sri tetap menatap cermin. Rambutnya dikuncir asal. Alisnya dibiarkan kusut tanpa disisir. Garis gelap di bawah matanya sudah seperti bagian dari wajah. Tapi siapa yang peduli? Tak ada ruang untuk berdandan saat seluruh tenaga habis untuk mengejar waktu, agar dapur tak sunyi, tagihan tak menumpuk, dan anak-anak tetap merasa disayangi, meski ibunya pulang larut dengan tubuh yang nyaris tumbang.

“Bu… Aku lapar,” suara kecil dari balik pintu kamar membuyarkan lamunannya. Pelan, nyaris seperti bisikan, tapi cukup kuat untuk mengoyak dinding hatinya yang sudah penuh tambalan.

Elvano atau biasa dipanggil El. Si bungsu. Enam tahun. Satu-satunya laki-laki di rumah itu. Ia tumbuh dalam sunyi yang ganjil. Lembut, pemalu, dan terlalu takut pada dunia. Seolah dunia terlalu besar dan terlalu bising untuknya.

Sri menarik napas panjang dan membuka pintu. Ada El berdiri di sana dengan mata bulat, piyama kusut, dan tangan menggenggam boneka kecil yang warnanya mulai pudar.

“Iya, Sayang. Ibu masak, ya.”

El mengangguk, lalu memeluk perut ibunya. Pelukan itu tak besar, tapi cukup untuk menahan tubuh Sri yang hampir ambruk oleh badai yang tak kunjung mereda. Sri membelai rambut El, pelan, seolah ingin meyakinkan anak itu bahwa meski dunia mereka tak sempurna, cinta ibunya tak pernah berkurang.

Di dapur, dua gadis remaja sudah duduk di tempatnya masing-masing. Alana dan Dinda. Dua anak perempuan yang tumbuh dalam rumah yang sama, tapi membawa luka yang berbeda.

Alana, si sulung, duduk bersilang kaki. Earphone menempel di telinga, pandangannya terpaku pada layar handphone, tapi sorot matanya kosong. Ia jarang bicara, tapi sering Sri temukan matanya basah saat malam, saat semua tidur, saat hanya ada suara angin dari jendela tua yang belum sempat diperbaiki. Ia menyimpan amarah, tapi juga ketakutan. Usianya kini dua puluh, dan sejak tujuh tahun lalu ia tak lagi percaya bahwa rumah adalah tempat pulang yang aman. Ada yang hilang dari dirinya —barangkali sosok yang dulu biasa menggandeng tangannya tiap pulang sekolah, atau suara yang dulu mengajaknya mengaji sebelum tidur. Entah.

Dinda, adiknya, beda lagi. Umurnya baru lima belas, tapi suara dan sikapnya seringkali seperti orang dewasa yang kesal pada dunia. Tapi Sri tahu, Dinda hanya sedang belajar bertahan. Belajar melawan dunia yang terlalu cepat memintanya dewasa. Di balik kerasnya suara, Sri melihat hati yang rapuh — anak perempuan yang paling cepat memeluk saat ibunya jatuh terduduk di dapur tujuh tahun lalu, saat ditinggalkan sosok lelaki yang dicintainya.

Dinda membuka lemari dapur, tahu bahwa isinya hanya mie instan dan beberapa saus sachet, tapi tetap membuka seperti ada harapan menemukan keajaiban di balik kaleng-kaleng kosong.

“Mie lagi, Bu?” tanya Alana, tanpa menoleh. Nada suaranya datar, tapi menyisakan sedikit getir.

Sri hanya tersenyum. Bukan karena kuat. Tapi karena sudah terlalu lelah untuk menjelaskan betapa sulitnya menukar mie dengan lauk.

“Gapapa, Bu. Biar aku yang masak,” kata Dinda, cepat-cepat, seolah ingin menambal ucapan kakaknya. Ia membuka bungkus mie dengan gerakan gesit, dan mulai menyalakan kompor.

Sri memperhatikan mereka dalam diam. Ada luka di setiap gerak-gerik itu. Ada sunyi yang tak bisa didefinisikan di antara kepulan uap air yang mendidih. Di sudut meja, El menggambar. Tangannya kecil, menggenggam pensil warna yang tak lengkap. Di atas kertas, ia menggambar rumah, matahari, dan empat orang berdiri berdampingan. Tiga Perempuan. Satu anak laki-laki.

Sri mendekat. Melihat gambar itu, dadanya sesak. Tak ada sosok lain. Tak ada figur tinggi berkumis seperti dulu, yang biasanya hadir di gambar-gambar anak seusianya.

“Ibu,” kata El pelan, “Kenapa aku selalu mimpi suara laki-laki, tapi mukanya nggak kelihatan, ya?”

Sri mematung sejenak. Lalu ia tersenyum. Lagi-lagi, bukan karena kuat, tapi karena harus.

“Mungkin karena El kangen sama seseorang yang belum El kenal.”

El hanya mengangguk, lalu kembali mewarnai matahari di langit kertasnya.

Sri menatap anak-anaknya satu per satu. Alana yang terlihat cuek tapi hancur. Dinda yang keras tapi hangat. El yang lembut tapi kosong. Mereka semua berdiri di atas tanah retak, tapi mereka masih berdiri. Dalam diamnya, Sri tahu — mereka bertiga adalah alasan mengapa ia tetap gagal mati. Dan kalaupun hidup ini harus terus berlanjut, ia rela. Asal bisa melihat mereka tumbuh, satu per satu, meski dunia tak pernah berhenti mengguncang.

Setelah mie matang, Dinda menuangkannya ke dalam tiga mangkuk yang sudah retak-retak di sisi bibirnya. Sri melihat anak keduanya itu mencuci sendok tanpa diminta. Air kran mengalir pelan, tapi dinginnya merambat sampai tulang. Dinda mengerjakan semua dengan gerakan tergesa-gesa, seolah terburu oleh sesuatu —mungkin rasa ingin menenangkan ibu, atau hanya sekadar ingin merasa berguna.

“Dinda, sini duduk dulu. Biar Ibu yang bersihin itu,” ujar Sri perlahan.

Lihat selengkapnya