Tukang Kipas Naik Naga Indosiar

Rury R&B
Chapter #2

Catatan Veronika: Satu, Satu, Gue Sering Sial

5 hari kemudian, Mega Kuningan, Jakarta Selatan, 24 Oktober 2019

Begitu gue menghenyakkan pantat di kursi kantor yang empuk, gue tahu ada yang salah pagi ini.  

Bukan, bukan terkait kedatangan gue yang terlalu awal untuk ukuran karyawan korporat di departemen Strategic Planning.  Gue memang selalu datang sebelum pukul delapan pagi setiap hari.  Begitu sudah menaruh ransel kuning itu di kursi, gue langsung menggeledah isi tas.  Laptop, checked.  Dompet, checked.  Parka, checked.  Musim hujan begini jangan sampai kejadian ojek payung enam bulan lalu terulang!

  Jangan sampai Veronika berganti status dari manusia menjadi seekor keledai karena mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.  Karena kalau sudah terjadi, bisa saja gue jadi bulan-bulanan Pak Rovindang kalau sampai gue cosplay dadakan jadi hantu banyu.  Hmm apa lagi, ya?  Botol minum, checked.  Pembalut cadangan, checked.  

Tidak ada yang salah dengan isi ransel kali ini.  Aduh!  Lalu mengapa rasanya ada yang mengguruh dari dalam badan gue pagi ini?  

Gue paling benci perasaan tidak karuan yang datangnya selalu tiba-tiba.  Ibarat seperti akan mendapat menstruasi tapi tidak kunjung muncul wujud nyatanya, sehingga hanya kram perut saja yang terasa.  Apakah sudah waktunya gue mendapat menstruasi?  

Gue mengambil gawai dari saku jeans yang longgar untuk mengecek kalender.  Masih ada waktu dua minggu tersisa dari jadwal bulan kemarin.  Rasa ingin memuncratkan calon anak ini sudah datang sejak tadi ketika gue menaiki bus menuju kantor, tapi gue hanya mengira bahwa itu hanya perasaan semata saja.  

Dalam kondisi biasa saja gue tidak termotivasi bekerja dengan benar, he-he-he.  Gue kan pengabdi Gudetama yang taat, jadi kalau sedang malas, nikmati saja kemalasan itu sepenuh hati.  Jadi bayangkan saja kalau sedang kedatangan tamu.  Sudah pasti gue punya alasan baik untuk tidak bekerja rajin hari ini.  

Namun secepat keinginan gue untuk memuntahkan calon anak, secepat itu juga pemberontakan terjadi di bagian bawah tubuh.  Aduh, sialan.  Mengapa perut gue mendadak bergejolak begini?  Aduh, rasanya seperti ada ratusan manusia kecil sedang mengoleskan bumbu buldak ke dinding lambung!  Ya ampun, mengapa bisa-bisanya mereka tega melakukan demonstrasi di waktu sangat tidak tepat seperti sekarang?! Wahai kumpulan hormon pencernaan, ini tuh belum waktunya makan sian!  Jadi jangan demo naik gaji dulu!  Hhhhh! 

Tanpa menunggu lebih lama, gue segera mencopot sepatu dan berganti sandal jepit dan tergopoh-gopoh ke toilet.  Bahkan sapaan Javi, senior yang duduk di sebelah gue, tak gue hiraukan.  TOILET!  Ayo cepat, harus ke toilet!  

Rasanya begitu menyebalkan ketika harus menahan hasrat  selagi jari jemari yang mendadak licin berusaha membuka kancing jeans agar bisa segera menuntaskan urusan.  Ya Tuhan, tolong jangan berojol dulu!  Huuft, betapa leganya setelah pantat ini bersentuhan dengan dinginnya toilet duduk!  Sambil memegang perut yang panasnya seperti lahar Gunung Krakatau meletus, gue mencoba mengingat kembali apa yang terjadi mulai dari bangun tidur sampai tiba di kantor. 

Apa, ya?  Sepertinya tidak ada yang begitu istimewa.  Karena malas dan tidak ingin terlambat ke kantor, gue hanya mengunyah dua kerat roti gandum dan merebus satu telur untuk sarapan kali ini.  

Oh, tidak.  Bagaimana gue bisa lupa?  

Ya ampun, bisa-bisanya gue malah minum susu sapi setelah itu!

Pantas saja pusar gue terasa berdenyut-denyut begitu menaiki bus.  Bukan karena gue punya masalah inteloran terhadap susu sapi.  Biasanya gue tidak mengalami masalah setelah meminum segelas susu sapi tiap hari.  Namun ada catatan tertentu yang harusnya tidak boleh gue langgar: jangan minum susu sapi saat sarapan.  Karena entah mengapa perut gue akan terasa seperti sedang dikuras dengan soda api setelahnya. 

Aduh, ini yang terjadi kalau kebegoan dipelihara sendiri.  Seperti yang sering Kak Maya bilang dengan senyum jumawanya yang khas, “Kamu harusnya lebih dermawan, Vero.  Kasihan kan, orang lain yang ingin bego jadi enggak kebagian karena kamu pakai sendirian?”

Lain kali gue harus pasang alarm untuk sedekah kebegoan setiap pagi.  Siapa tahu Javi juga ingin terlihat bego, kan?  

Huft, semoga saja gue bisa segera menuntaskan hajat secepatnya.  Menggunakan toilet kantor untuk kepentingan semacam ini sesungguhnya masuk dalam daftar hitam.   Tetapi kalau sudah terlanjur, gue pun tidak bisa melakukan apa-apa.  Alasannya tentu saja karena: 

1.     Gue bisa saja berpapasan dengan penghuni kantor lainnya yang kenal dengan gue.  Mau itu ibu-ibu atau sekretaris atasan, tidak ada yang lebih baik. Bayangan gosip tentang bau telur busuk yang gue ciptakan bisa jadi gosip heboh yang bisa jadi tidak akan hilang setelah 75 hari kemudian. 

2.     Toilet terbaik tentu saja toilet rumah sendiri.  Lo bisa bebas tanpa perlu takut ada yang mengetuk pintu toilet secara tidak sabaran dari luar.  Meski setengah ruangan di rumah menjadi kamar indekos, mereka punya dua kamar mandi tersendiri sehingga tidak akan ada yang mengganggu kamar mandi pribadi

Jadi bagaimana pun juga, gue harus berhenti meraung-raung dan keluar sebelum bertemu kerumunan sekretaris yang sebentar lagi akan haha-hihi ala kuntilanak dengan bau rambut terbakar yang berasal dari catokan. Ayo dong, simsalabim, mulasnya berhenti!  

Tiba-tiba gawai gue bergetar.  Ada sebuah pesan masuk. 

Rifan Hidayat 

Vero, nanti coba cek lagi materi yang kemarin kamu buat, ya.  Presentasi 

dimajukan jadi jam 08.30. Aku lagi di jalan, semoga bisa tepat waktu. Langsung

bertemu di lantai 12 saja di kantornya NIT. 

Mampus.   Perut gue masih konser, tapi gue masih tidak berdaya begini.  Mana sekarang sudah mendekati jam 8 pula!  

Untungnya materi presentasi yang gue buat sudah mendapat persetujuan setelah direvisi tiga belas kali oleh Mas Rifan.  Bukan karena ia sejenis senior manajer sombong,  bukan itu.   Di luar pekerjaan, semua akan langsung terpikir imajinasi tentang lelaki shaleh setiap kali melihat jenggotnya.   Tetapi sifat perfeksionisnya sangat menganggu.  Itu alasan gue menghabiskan setengah hari Minggu mengerjakan pekerjaan kantor.  Setiap kali ada perubahan yang gue buat, ia selalu tidak puas dan meminta revisi.  

Gue ingin bisa memaklumi karena sampai detik ini, posisi atasan tim kami memang sedang kosong.  Jadi sejauh ini Mas Rifan harus menanggung beban menjadi POH1 sejak atasan kami, Pak Ahmad, mendapatkan promosi jabatan tiga bulan yang lalu dan pindah ke departemen lain.  Namun satu hal yang menyebalkan, setiap kali gue membuat revisi, Mas Rifan selalu memperbaiki lagi pekerjaan itu.  Setelahnya, ia akan meminta gue untuk membuat perubahan lain, tetapi nantinya ia akan merevisi ulang pekerjaan gue.  

Jadi untuk apa pula gue bekerja setengah mati di akhir pekan?  Itu masih menjadi misteri. 

Pertama, gue jelas harus segera beranjak dari toilet.  Kedua, segera mengecek isi materi sesuai yang ia minta.  Karena gue masih terhitung baru, nantinya Mas Rifan yang akan melakukan presentasi pada saat melakukan pelurusan strategi bersama departemen NIT.  Gue harap semua tetap bisa berjalan lancar tanpa mengalami kesialan baru, setidaknya sampai waktunya makan si–

Hah?  Air mancur dari mana ini? Siapa yang menyalakan shower?

Gue menengadah.   Kumpulan ribuan titik-titik air itu memang terlihat indah, kawan.  Namun ini bukan saatnya terpukau.  Ribuan titik-titik bening itu segera memantul kembali setelah menyentuh tembok dengan deras, membuat rambut ikal gue layu seketika.  Udara yang terpompa dari paru-paru secara otomatis melewati lapisan otot di kotak suara, menciptakan getaran tinggi yang bukan seriosa.   TIDAK!  GUE BAKAL JADI NENEK GAYUNG SETELAH INI! 

Lihat selengkapnya