Catatan Indita: If No One Will Listen
9 hari kemudian, Kota Bambu Selatan, Jakarta Barat, 2 November 2019
Begitu taksi online sudah berhenti di sebuah rumah tingkat satu yang terlihat tua berhiaskan pot tanaman yang berjejer rapi, aku sudah tiba di rumah indekos baru. Ini sudah kedua kalinya aku berkunjung ke sini. Sebelumnya aku pernah melakukan survei ke daerah Jakarta Barat.
Tidak semua wilayah di Jakarta Barat nyaman ditinggali. Jika berkunjung ke bagian belakang Central Park, keramaian Tanjung Duren langsung membuat kepalaku pusing. Selain karena lalu lintasnya ruwet, terlalu banyak area indekos yang berjajar menyatu dengan kafe dan tempat makan cukup terjangkau. Aku sangat benci keramaian.
Tetapi ketika aku tidak sengaja dibawa oleh ojek online yang buta arah mencari jalan, aku sempat tercengang betapa tenangnya kawasan di area seberang mall. Sepertinya karena roda penggerak ekonomi lebih berpusat di kawasan yang dekat dengan sekolah, kantor, dan pusat perbelanjaan, khalayak tentu lebih banyak berkumpul. Tinggal di bagian belakang rumah sakit lebih memberi ketenteraman yang nyata.
Kriteriaku dalam memilih rumah indekos cukup sulit karena sangat pemilih. Meski harus jauh dari keramaian, area rumah indekos itu masih perlu terkoneksi dengan peradaban. Fasilitas di komplek sini cukup baik, segala kebutuhan tersedia. Makanan di sini relatif murah jika dibandingkan wilayah kota lainnya.
Harga kamar di sini masih relatif masuk akal, bahkan terbilang murah untuk ukuran Jakarta. Kamar yang kutempati nantinya tidak akan mengandalkan air conditioner. Jendelanya menghadap ke timur, di pagi hari akan mendapat asupan cahaya yang cukup. Rumah indekos ini khusus perempuan, terdapat dapur dengan fasilitas cukup lengkap. Ada 3 kamar mandi yang terletak di luar. Namun rumah ini hanya memiliki 4 kamar, sehingga adegan saling menunggu agar bisa mandi sebelum berangkat ke kantor masih bisa teratasi.
Ketika aku memijit bel, seorang wanita berusia awal 40-an membuka pintu. Ia tersenyum ketika mengenali wajahku.
“Mbak Indi, ya?” Ibu itu mengambil kunci dari celana pendek, membuka pintu pagar. “Ayo masuk, monggo!”
Barangku tidak banyak, hanya koper berukuran 24 inci yang kugeret saat masuk ke halaman. Ransel yang kugendong membawa peralatan kantor seperti laptop dan charger. “Kamarnya baru saya bereskan, Mbak. Untuk seprai sama gorden juga baru dicuci, baru saya pasang juga,” Bu Parti mendahului masuk ke dalam rumah.
“Barangnya cuma satu, Mbak?” Bu Parti membuka pintu kamar pertama yang langsung berhadapan dengan ruang tamu. Wangi pelembut pakaian bercampur karbol langsung menusuk hidung.
“Barangnya memang enggak banyak, Bu.”
“Sampeyan asalnya dari mana? Tinggalnya ndak jauh dari Jakarta, ya?” Basa-basi seperti ini sesungguhnya sangat umum, tetapi aku selalu malas menjawab. Mengapa orang selalu ingin tahu alasanku keluar rumah?
Bibir yang terpaksa merekah selebar mungkin disertai anggukan kecil rupanya cukup sebagai jawaban. Mereka tak perlu tahu. “Kuncinya saya cantol pintu, ya. Kalau ada perlu panggil saja saya di belakang Mbak, lagi setrika baju.”
Aku mengangguk, lega setelah Bu Parti kembali meneruskan pekerjaan. Setelah punggungnya tak terlihat, aku buru-buru menutup pintu.
Kamar yang kupilih ini katanya jauh lebih luas dari tiga kamar lainnya. Harganya agak berbeda tentu saja, tapi mendapat kamar seharga 1,3 juta dengan fasilitas cukup lengkap merupakan kemewahan. Aku merebahkan kepalaku di ujung tempat tidur yang sudah terpasang seprai, memejamkan mata. Apakah akhirnya aku bisa tidur nyenyak di kamar ini?