Tukang Kipas Naik Naga Indosiar

Rury R&B
Chapter #6

Catatan Veronika: Dua, Dua, Gue Gudetama

2 hari kemudian, Mega Kuningan, Jakarta Selatan, 22 Januari 2020

Terkadang gue berharap berubah jadi manusia serigala saja ketika datang bulan sudah tiba.  Kalau saja bukan karena kekurangan FTE3, gue sih berencana untuk cuti saja hari ini.  Kantor ini cukup bermurah hati menyediakan jatah cuti haid tiap bulan untuk karyawati.  Tapi apa yang terjadi?  Ya, benar.  Bisa-bisanya di hari yang  harusnya tenang ini gue harus bersiap-siap pergi ke Surabaya untuk workshop!  Gue padahal tidak pernah daftar jadi kontestan ”Who Wants to Be Objek Penderita”, tapi gue terpilih!  Tanpa hadiah 1 milyar rupiah!  Hih, Naga sialan!  Kapan-kapan gue pompa alat vitalnya pakai alat pompa sepeda biar meletus dor cekicrot!  

Karena rumah gue terletak di area Kota Bambu Selatan, bisa saja gue ke bandara besok dan naik pesawat terpagi untuk ke Surabaya.  Masalahnya: 

1.     Besok meeting dimulai sejak pukul 8 pagi, itu artinya antara gue pergi pagi buta ke Bandara Soekarno-Hatta atau sore ini sudah di jalan menuju Bandara Halim Perdanakusumah agar bisa tiba di malam hari di Bandara Juanda. 

2.      Cuma gue si kacung kampret yang harus mendampingi si Naga untuk melakukan meeting!  Mengapa gue? Mengapa bukan Hudea?  Mengapa bukan Javi?  Mengapa bukan Mbak Indi?  Apa karena wajah gue lebih cocok untuk jadi penampung eek si Naga?  Hhhh, kesal!  Gue kesal banget! 

Memang sih, nantinya ada tunjangan untuk perjalanan dinas yang biasa dibayarkan dua minggu kemudian setelah gue melaksanakan tugas.  Tapi gue lebih suka meraung-raung sakit perut karena haid di sofa daripada menderita lahir batin di jalan!   Karena itu, gue yang biasanya sudah tiba pukul setengah delapan pagi, sengaja berangkat lebih siang dari biasanya.  Gue berangkat pukul tujuh lebih, tiba di kantor pukul delapan kurang sepuluh menit.  Hmm, bagaimana tuh?  Rasakan mogok massal yang beranggotakan satu orang ini!  

Jadi alih-alih membuka laptop dan memburu barang limited edition  dari telur pemalas, gue hanya menyerocos bahasa sampah sambil mengulek wajah gue sendiri ke meja.  Gue tidak peduli kalau sampai jadi sambal.  Bagus juga kalau hidung gue mengucurkan sambal matah nantinya, tinggal gue campur ke tehnya si Naga, lalu… he-he-he.  Memang ya, kecerdasan itu datangnya sering kali kalau sudah kepepet.   Batal deh ke Surabaya! 

Wangi biji kopi yang khas langsung menyapa gue yang masih memegang perut yang sakit setengah hidup.  Saat gue menengadah, ada pemilik kacamata Rayban sebesar gaban menatap gue lekat-lekat, dengan kedua tangan bertumpu sok manis di meja gue.   Astaga.  Mulai kumat lagi si Bebe!  

”Beb.”

”Ya, Mbak?” 

”Lo cosplay jadi apa lagi hari ini?”

Bebe segera berdiri sambil memutar badan dua kali ala peragawati.  Tak lupa ia melempar poni pinggirnya ke belakang.  “Bagaimana saya hari ini?  Kalau ada Ondel-Ondel Fashion Week, saya bisa jadi tukang araknya.” 

Mulut gue lama-lama bisa kemasukan lalat tsetse kalau dibiarkan mangap terus.  Tapi kalau memang lalat tsetse itu ada di kantor, tentunya lalat tsetse adalah sahabat baiknya Gudetama nomor wahid.  Jadi tidak masalah.  Tapi… sungguh, gue bahkan tidak tahu harus berkata apa ketika Bebe mulai kumat memamerkan koleksi busananya yang terbaru.  

Sejak pertama gue kenal dengan Bebe, gue tahu ada yang salah dengan sekrup otak office boy satu ini.  Kadang gue bertanya-tanya, apakah kabel kewarasannya tertinggal di rahim sang ibu sewaktu ia dilahirkan?  Gue masih bisa memaklumi rambut yang selalu licin nan klimis lelaki yang lebih tua empat tahun dari gue ini, tapi seragamnya, hello?  Tidak akan ada yang bisa memprediksi akan jadi apa ia keesokan harinya. 

Suatu hari, ia pernah bergaya rock and roll dengan memakai rompi jeans robek-robek, lengan seragam office boydigulung ke siku,  dan celana ketat kulit hitam berantai.  Di lain waktu, ia bisa tiba-tiba pakai vest  dan kacamata kotak untuk menghayati perannya yang bertema ”Lelaki Ador(k)able”.  Bisa tahu dari mana istilah itu, kok gue saja baru dengar?  Begitu gue tanya, katanya ia baca dari koran yang jadi bungkus gorengannya Bang Jali. 

Hari ini tentu saja temanya retro 80-an.  Jaket kulitnya yang sangat cocok untuk  tubuhnya yang memang bagus membuat kekesalan gue makin menjadi-jadi.  Tahu kan, rasa ngilunya mendengar decitan kapur beradu dengan papan tulis hijau atau hitam?   Nah, itu rasanya ketika melihat ia hari ini.

”Iya Beb, nanti gue telepon dulu RSJ terdekat biar lo bisa diaudisi di sana.”

Bebe tertawa kecil dan malah menonjok bahu gue.  Suka tidak kira-kira ya, tenaga kulinya!   “Mbak ini, bisa saja!  Ini saya buatkan sesa– maksud saya,  kopi kayak biasa.  Silakan dinikmati.”  

Gue ingin menolak, tapi kebaikan Bebe begitu tulus hingga rasanya tidak sanggup mengatakan apa-apa.  Mengapa pula hormon haid tidak bersahabat dengan kopi? 

“Terima kasih ya, Beb.”

Bebe hanya menyunggingkan senyumnya yang menyilaukan, lalu melenggang tanpa kangkung.  Gue masih bermuka suntuk ketika Javi menyapa dan duduk di kursi sebelah.  Namun tak lama kemudian, gue melihat Bebe berjalan mundur gaya moonwalk. Ia membuka kacamata dan menaruhnya di puncak kepala, memperlihatkan kedua mata coklatnya yang ramah nan lugu.  Senyumnya yang seperti emas batangan  24 karat  bikin mata gue kelilipan. 

“Kenapa, Beb?  Ada yang ketinggalan?” 

Bebe terdiam sejenak.  Senyumnya yang tidak bisa gue tukar tambah di e-commerce masih tersungging.  Gue makin keheranan.

“Apa sih Beb, kok lihat gue begitu amat?  Oi!” 

“Mbak, saya kelupaan sesuatu.”

“Lupa apa?”

Lihat selengkapnya